ABATANEWS, JAKARTA — Setelah 20 tahun dilarang, Presiden Joko Widodo secara resmi membuka kembali keran ekspor pasir laut. Kebijakan ini muncul setelah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) merevisi dua peraturan sebagai bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Langkah ini diambil menyusul usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk memanfaatkan sedimentasi laut.
Keputusan ini menuai berbagai respons dari berbagai pihak, terutama terkait dengan dampaknya terhadap ekosistem laut. Pasir laut memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas ekosistem pesisir.
Namun, peningkatan sedimentasi juga menjadi masalah serius karena dapat mengganggu kesehatan laut dan kapasitas ekosistem pesisir.
Menurut Isy Karim, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, ekspor pasir laut hanya akan dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
“Ekspor pasir laut bertujuan untuk mengatasi masalah sedimentasi yang bisa merusak daya dukung ekosistem laut,” ujar Isy.
Ia menambahkan, pengelolaan yang baik diharapkan dapat mendukung rehabilitasi dan pembangunan di kawasan pesisir.
Namun, meskipun pemerintah mengklaim kebijakan ini akan membawa manfaat untuk pembangunan dan rehabilitasi ekosistem, banyak yang mempertanyakan implikasi lingkungan jangka panjang dari keputusan ini.
Jenis pasir laut yang dapat diekspor telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47 Tahun 2024, tetapi prosesnya memerlukan berbagai izin, termasuk menjadi Eksportir Terdaftar (ET) dan mendapatkan Laporan Surveyor (LS).
Kebijakan ini seakan menjadi dilema antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Di satu sisi, ekspor pasir laut bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi negara dan mendukung pembangunan infrastruktur.
Namun di sisi lain, potensi kerusakan ekosistem pesisir dan ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya laut memicu kekhawatiran besar, terutama dari para aktivis lingkungan.