ABATANEWS, MAKASSAR – Kasus suap Rachel Vennya kepada staf DPR RI, Ovelina Pratiwi ditanggapi panjang oleh mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah.
Ia menyoroti Ovelina yang tidak bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena bukan berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Febri kembali mengutarakan pendapatnya itu lewat akun Twitternya pada Rabu (15/12/2021). Menurutnya, UU Tipikor tidak hanya menjerat ASN.
Baca Juga : Komisi III DPR RI Resmi Tetapkan Pimpinan KPK, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
“Untuk memahami secara tepat, kita perlu baca pasal-pasal tentang suap di UU Tipikor. Pemberi: Pasal 5 ayat (1), 13. Penerima: Pasal 5 (2), 11, 12a, atau 12b. Apakah hanya PNS yang bisa diproses dengan sangkaan menerima suap? TIDAK. Karena subjek hukumnya: Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara,” tulisnya dalam cuitan.
Febri juga mengulas definisi pegawai negeri dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia menegaskan bahwa Pegawai Negeri tidak sama dengan PNS. ASN dan PNS hanya beberapa di antara bentuk pegawai negeri.
Kemarin seorang jurnalis hub Saya, diskusi ttg subjek hukum dugaan aliran dana RACHEL VENYA.
Baca Juga : Komisi III DPR RI Jadwalkan Pleno Penetapan Pimpinan KPK pada Kamis Pekan Ini
Bkn utk menyimpulkan apakah benar Suap/tidak ya, tp bahas 1 bagian penting.
Ttg subjek hukum penerima yg katanya bukan ASN/PNS sehingga tdk bs diproses dg aturan suap di UU Tipikor.
— Febri Diansyah (@febridiansyah) December 15, 2021
Baca Juga : Hebatnya Gubernur Kalsel Sembunyi yang Bikin KPK Cuma Bisa Urut Dada
Dia lantas membahas soal perbedaan Pegawai Negeri dengan Penyelenggara Negara. “Mari kita bahas satu persatu… pelan-pelan saja. Untuk membedakan, Pegawai Negeri saya singkat (Pn), sedangkan Penyelenggara Negara (PN). Pn meliputi Pasal 1 angka 2 huruf a: Pn sebagaimana dimaksud UU Kepegawaian. Ini dapat disamakan dengan ASN, yang terdiri dari PNS dan P3K,” ungkapnya.
“Bentuk Pegawai Negeri (Pn) ke-2 yaitu: Pn sebagaimana dimaksud di KUHP. Wah apalagi ini? Sebelumnya, kita perlu paham, pasal-pasal suap di UU Tipikor awalnya berasal dari KUHP, tepatnya pasal tentang kejahatan jabatan. Sedangkan ruang lingkup Pn (ada juga yang gunakan istilah pejabat) ada di Pasal 92,” sambungnya.
Baca Juga : KPK Pantau dan Evaluasi 38 Paket Pekerjaan di Provinsi Gorontalo
Febri mengatakan, sebelum beberapa UU dibuat terkait Pegawai Negeri, yang dijadikan rujukan adalah Pasal 92 KUHP. Dalam istilah Belanda adalah AMBTENAAR. Mahkamah Agung (MA) pada tahun 1953 pernah menerapkan Pasal 92 ini. Jauh sebelumnya, MA Belanda dalam putusannya tahun 1911 juga menegaskan arti Pegawai Negeri. Bahkan dulu pihak swasta yang menjalankan sebagian tugas pemerintah daerah juga disebut pegawai negeri.
“Secara sederhana di putusan Hoge Raad tersebut menekankan pada keadaan apakah seseorang tersebut diangkat untuk melaksanakan sebagian tugas negara, dan bukan dikaitkan dengan kepangkatan. Bahkan putusan HR tahun 1925 menegaskan seorang swasta yang menjalankan sebagian tugas pemerintah daerah jg Pn,” lanjutnya
Febri mengakui bahwa penjelasan soal pegawai negeri di KUHP memang rumit. Namun, dia menjelaskan bahwa siapa pun yang menerima gaji dari keuangan negara sekalipun kontrak tetap bisa masuk kategori pegawai negeri.
Baca Juga : 8 Bulan ‘Nganggur’, KPK Akhirnya Amankan Rp10 M dari OTT di Kalsel
“Rumit ya memang Pegawai Negeri di KUHP. Next, mari kita lihat yang lebih klir bentuk ke-3 Pn: orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara/keuangan daerah. Jadi, jika seseorang menerima gaji, upah atau dengan nama sejenis dari keuangan negara, sekalipun kontrak tetap dapat masuk kategori ini,” ujarnya.
Lantas bagaimana jika kontrak si pegawai sudah berakhir? Menurut Febri tidak masalah. Sebab, pelaku bisa masuk dalam salah satu bentuk pegawai negeri seperti diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Tipikor.
Febri juga membahas masalah jika uang sudah dikembalikan. Dia menegaskan bahwa suap bukan soal diterima atau tidaknya uang.
Baca Juga : Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Soroti Relasi Pansel KPK dengan Elite Politik
“Tapi gimana kalau uangnya sudah dikembalikan? Bukankah artinya suap nggak terjadi? Saran saya: jangan terlalu cepat menyimpulkan. Tapi karena ini bagian tersendiri, nanti kapan waktu kita bahas lagi. Sederhananya, suap bukan hanya soal diterima/tidaknya uang. Trims. Semoga bermanfaat,” ujarnya.
Namun Febri mengingatkan bahwa penjelasannya bukan untuk mendahului kesimpulan penegak hukum. Semua semata-mata untuk edukasi publik. (*)