ABATANEWS, JAKARTA — Pada tanggal 18 Agustus 1945, ketika Indonesia merdeka, konstitusi pertama Indonesia, yaitu UUD 1945, telah mencantumkan keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara yang bertugas mengawasi pelaksanaan undang-undang dasar. Namun, baru pada tahun 2001 MK secara resmi didirikan melalui Amandemen Konstitusi tahun 2001.
MK didirikan sebagai hasil dari gerakan reformasi yang mendesak untuk memperkuat sistem peradilan yang independen, transparan, dan bertanggung jawab. Pada awalnya, MK memiliki tugas utama untuk menegakkan supremasi konstitusi, memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum, dan menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Perubahan Mahkamah Konstitusi dalam Tiap Masa Kepemimpinan
Baca Juga : 3 Advokat Ajukan Gugatan di MK, Minta Semua Pilkada Dihadirkan Kotak Kosong
Di bawah berbagai kepemimpinan, MK telah mengalami perubahan signifikan dalam hal yurisdiksi, prosedur, dan keputusan yang diambil. Berikut adalah beberapa perubahan yang terjadi:
– Era Awal (2003-2008)
Di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua MK, lembaga ini mengalami masa pembentukan dan konsolidasi. MK mengeluarkan keputusan yang penting dalam memperkuat otoritasnya, termasuk dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum.
– Era Pembaharuan (2008-2013)
Pada masa ini, MK di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Mahfud MD mulai mengambil peran yang lebih proaktif dalam menegakkan supremasi konstitusi. MK mulai mengambil peran yang lebih besar dalam menegakkan hak asasi manusia, serta memperluas wewenangnya dalam menguji undang-undang.
Baca Juga : Ketua Komisi II Pastikan PKPU Pilkada Serentak 2024 Merujuk Putusan MK
– Era Penguatan Reputasi (2013-2018)
Di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Arief Hidayat, MK terus memperkuat reputasinya sebagai pengawal konstitusi yang independen dan kuat. MK mengeluarkan sejumlah putusan penting yang memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
– Era Inovasi (2018-2023)
Dibawah kepemimpinan Prof. Dr. Anwar Usman, MK mulai menerapkan inovasi dalam proses pengadilan, termasuk penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi. MK juga terus mengambil peran dalam melindungi hak-hak individu dan memperkuat tata kelola pemerintahan.
Selama setiap periode kepemimpinan, MK terus berupaya untuk menjadi lembaga peradilan yang independen, transparan, dan mampu menegakkan supremasi konstitusi demi kepentingan rakyat dan negara.
Baca Juga : Bawaslu Surati KPU untuk Patuhi Putusan MK Soal Persyaratan di Pilkada Serentak
Hakim Konstitusi
Sistem pembagian jatah kursi hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia didasarkan pada prinsip keterwakilan dan keadilan. Berdasarkan UUD 1945 dan Undang-Undang tentang MK, pembagian jatah kursi hakim dilakukan sebagai berikut:
– Hakim Konstitusi
MK terdiri dari 9 hakim konstitusi yang dipilih melalui proses yang transparan dan terbuka. Dari 9 hakim konstitusi tersebut, 3 diantaranya ditunjuk oleh Presiden, 3 dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan 3 dipilih oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Baca Juga : KPU RI Pastikan Ikuti Putusan MK Soal Batas Usia, Termasuk Kampanye di Kampus
– Kriteria Pemilihan
Hakim konstitusi dipilih dari kandidat yang memiliki reputasi yang baik, integritas, pengetahuan yang luas tentang hukum dan konstitusi, serta pengalaman yang relevan dalam bidang hukum.
– Periode Jabatan
Hakim konstitusi memiliki masa jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali sekali untuk masa jabatan yang sama. Hal ini bertujuan untuk memastikan rotasi dan pergantian yang teratur dalam tubuh MK.
– Keseimbangan Kekuasaan
Pembagian jatah kursi hakim antara penunjukan oleh Presiden, pemilihan oleh DPR, dan pemilihan oleh DPD bertujuan untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan daerah dalam MK.
Baca Juga : Wakil Ketua DPR RI Pastikan RUU Pilkada Batal Disahkan, Keputusan MK Jadi Rujukan Pendaftaran
Dengan sistem pembagian jatah kursi hakim ini, diharapkan MK dapat mencerminkan beragam pandangan dan kepentingan masyarakat serta memastikan independensi, keadilan, dan kredibilitas lembaga dalam menegakkan supremasi konstitusi.