Oleh: dr. Andi Muh Muslih Rijal
(Ketua Bidang Kesehatan KNPI Kota Makassar dan Wasekjend PB HMI)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) memegang peran strategis dalam pengelolaan kebijakan kesehatan nasional. Namun, sejumlah kebijakan yang diambil kerap memicu polemik, kritik, bahkan kekhawatiran dari berbagai kalangan—baik praktisi medis, organisasi profesi, institusi pendidikan, maupun masyarakat luas.
Tulisan ini hadir sebagai refleksi kritis terhadap sejumlah kebijakan Kemenkes yang dinilai tidak hanya kontroversial, tetapi juga potensial menimbulkan disrupsi pada sistem kesehatan Indonesia.
Naturalisasi Dokter Asing dan Imbas terhadap Profesional Medis Lokal
Baca Juga : Ispa dan Darah Tinggi Jadi Penyakit Paling Banyak Diderita Pemudik
Dalam Forum Komunikasi Nasional Tenaga Kesehatan yang disiarkan Kemenkes, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan wacana naturalisasi dokter asing guna meningkatkan kualitas tenaga kesehatan. Namun, wacana ini menuai kritik tajam karena berpotensi menimbulkan persoalan baru: perbedaan nilai sosial-budaya, bahasa, sistem kompetensi, hingga ancaman terhadap lapangan kerja dokter Indonesia.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga sekaligus Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Prof. Dr. dr. Budi Santoso, menyatakan penolakannya terhadap wacana tersebut. Namun tak lama setelah pernyataan tersebut, ia diberhentikan dari jabatannya melalui surat pemecatan dari Rektor Unair tanpa penjelasan yang memadai. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah kebebasan akademik dan berpendapat kini dibatasi karena tekanan dari pemilik kebijakan?
Kasus Bullying PPDS FK Undip dan Tekanan Kebijakan
Tragedi kematian mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) FK Undip akibat bullying memicu penutupan program studi tersebut dan pemberhentian Dr. dr. Yan Wisnu Prajoko, Sp.B(K) Onk. Surat pemberhentian yang dikeluarkan oleh Direktur RS diduga kuat merupakan respons terhadap tekanan dari Kemenkes. Keputusan mendadak ini dinilai justru merugikan pasien yang tengah menjalani pengobatan.
Mutasi Dokter sebagai Alat Membungkam Kritik
Baca Juga : Ratusan Juta Warga Indonesia Telah Mendapat Vaksin Dosis Kedua
Kasus mutasi terhadap dokter kritis terhadap kebijakan Kemenkes terus berulang. Salah satunya, dr. Piprim B. Yanuarso, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dimutasi dari RSCM ke RS Fatmawati tanpa pemberitahuan resmi. Alasan yang dikemukakan—pemerataan subspesialis dan masa jabatan—diragukan, karena dr. Piprim adalah satu-satunya konsultan tumbuh kembang anak di institusinya.
Setelah pernyataan IDAI yang menolak kebijakan terbaru soal kolegium, mutasi ini dianggap sebagai bentuk represif terhadap suara kritis. Menyusul itu, dr. Rizky Adriansyah yang turut mengkritik mutasi dr. Piprim juga diberhentikan mendadak dari RSUP Adam Malik, padahal tidak pernah menerima sanksi disiplin sebelumnya.
Pemecatan Akademisi karena Kritik Kebijakan
Prof. Dr. Zainal Muttaqin, Ph.D., Sp.BS juga mengalami hal serupa setelah menyampaikan kritik terhadap RUU Kesehatan. Ia diberhentikan oleh Dirut RS dr. Kariadi dengan alasan yang tidak substansial. Ia mengaku bahwa Dirut RS menyampaikan kekecewaan Menteri Kesehatan terhadap tulisannya. Tak ada pelanggaran etik atau UU ITE yang dilakukannya, namun ia tetap diberhentikan. Hal ini menguatkan dugaan bahwa pemecatan dilakukan bukan karena pelanggaran, tetapi karena kritik.
Peraturan Disiplin Multitafsir dan Risiko Penyekapan Suara
Baca Juga : Pulau di Sulsel Dapat anggaran Rp60 M untuk Pembangunan RS
Terbitnya Permenkes No. 3 Tahun 2025 tentang Penegakan Disiplin Profesi menimbulkan kekhawatiran baru. Aturan ini memungkinkan Kemenkes menetapkan sendiri jenis pelanggaran disiplin profesi, yang dikhawatirkan menjadi alat untuk membungkam kritik.
Padahal, menurut UU No. 5 Tahun 2015 tentang ASN, mutasi harus dilakukan berdasarkan sistem merit—yakni mempertimbangkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja—bukan karena perbedaan pandangan. Hal ini juga ditegaskan dalam Surat Menpan-RB No. 21 Tahun 2022, yang mewajibkan alasan mutasi disampaikan secara tertulis.
Menurunnya Standar Kompetensi demi Akses yang Diperluas
Salah satu kebijakan yang menuai kritik besar adalah diberikannya kewenangan kepada dokter umum untuk melakukan operasi sesar, yang sebelumnya merupakan domain eksklusif dokter spesialis Obgyn. Meski alasan utamanya adalah memperluas akses, kebijakan ini dinilai sangat berisiko. Angka kematian ibu di Indonesia sudah tinggi—189 per 100.000 kelahiran hidup—dan keputusan ini bisa memperparah kondisi.
Baca Juga : Pulau di Sulsel Dapat anggaran Rp60 M untuk Pembangunan RS
Daripada menurunkan standar kompetensi, pemerintah seharusnya memperbaiki persebaran dokter spesialis lewat penugasan ke daerah, optimalisasi telemedicine, revitalisasi program dokter keluarga, dan perbaikan sistem rujukan.
Kompetensi Kolegium dan Ancaman terhadap Independensi Keilmuan
UU No. 17 Tahun 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024 memberikan Kemenkes kendali penuh terhadap kolegium, termasuk pengangkatan dan pemberhentian anggotanya. Padahal, kolegium merupakan lembaga akademik yang seharusnya independen dalam menjaga standar kompetensi ilmu kedokteran. Jika pemerintah dapat menunjuk dan memberhentikan kolegium secara sepihak, maka ancaman terhadap objektivitas keilmuan sangat nyata.
Pernyataan Kemenkes dalam dialog publik bersama Rosi juga membingungkan. Disebutkan bahwa kolegium berasal dari ormas, padahal sejatinya kolegium dibentuk oleh komunitas akademik melalui organisasi profesi. Meski disebut ada pemilihan nama oleh guru besar, pada akhirnya Kemenkes yang menentukan siapa yang memimpin kolegium.
Kesimpulan
Baca Juga : Pulau di Sulsel Dapat anggaran Rp60 M untuk Pembangunan RS
Reformasi dalam akses layanan kesehatan tentu penting. Namun, mutu pendidikan kedokteran yang berdampak langsung pada keselamatan pasien tidak boleh dikorbankan. Dokter harus dididik dengan standar tinggi, karena yang mereka layani adalah manusia.
Pemilihan anggota kolegium harus independen, tidak boleh berada di bawah kendali langsung pemerintah. Pemerataan layanan kesehatan lebih bijak dilakukan dengan pembangunan prasarana dan distribusi tenaga medis, bukan melalui pengabaian terhadap proses pendidikan dan profesionalisme dokter.
Sektor kesehatan hanya akan maju apabila seluruh elemen—kementerian, organisasi profesi, institusi pendidikan, dan mahasiswa—berjalan secara sinergis. Bukan melalui pemutusan suara kritis dan penyalahgunaan kekuasaan, tetapi melalui ruang dialog yang sehat dan konstruktif.