ABATANEWS, JAKARTA — Praktik pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) kembali menjadi sorotan setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap skema ilegal dalam distribusi Pertamax. Tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.
Kasus ini melibatkan PT Pertamina Patra Niaga, yang diduga membeli Pertalite—BBM dengan RON 90—kemudian mencampurnya atau blending agar menyerupai Pertamax (RON 92). Ironisnya, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax, sehingga negara mengalami kerugian besar.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92,” tulis keterangan Kejagung, Selasa (25/2/2025).
Baca Juga : Harga BBM Non Subsidi Naik Per Februari 2025, Berikut Daftarnya
Kejagung menetapkan tujuh tersangka yang berasal dari berbagai posisi strategis di perusahaan yang terlibat. Mereka adalah:
- Riva Siahaan – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
- Sani Dinar Saifuddin – Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
- Yoki Firnandi – CEO PT Pertamina International Shipping
- Agus Purwono – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
- Muhammad Kerry Andrianto Riza – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa
- DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim
- GRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Modus Operasi dan Kerugian Negara
Kerugian negara dalam kasus ini tidak hanya berasal dari pengoplosan BBM, tetapi juga dari berbagai transaksi yang melibatkan ekspor dan impor minyak. Beberapa sumber kerugian yang diidentifikasi Kejagung meliputi: Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri; Kerugian impor minyak mentah melalui broker; Kerugian impor BBM melalui broker; Kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.
Praktik ini berlangsung selama periode 2018 hingga 2023, memperlihatkan bagaimana ketidaktransparanan dalam sektor energi bisa berdampak besar pada keuangan negara.