ABATANEWS, MAKASSAR – Dalam debat putaran kedua Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan, yang diselenggarakan di Hotel Claro, Makassar, Minggu, 10 November 2024, calon gubernur Sulsel Mohammad Ramadhan Pomanto menyoroti masalah tata kelola hutan dan lahan di Sulawesi Selatan.
Ia menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh atas izin usaha pertambangan yang kian meresahkan, terutama terkait dampaknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan ekosistem.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, terdapat 261 izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Selatan, angka yang lebih tinggi dibandingkan Sulawesi Tenggara yang memiliki 229 IUP.
Baca Juga : Teruji Bisa Mengayomi dan Plural, Komunitas Tionghoa di Sulsel Kembali Dukung Andalan Hati
Menurut Danny sapaan Ramdhan Pomanto, tingginya jumlah izin ini menimbulkan ancaman serius bagi iklim, biodiversitas, limbah, serta polusi.
“Walaupun izin ada di pusat, kami akan meminta evaluasi terhadap pihak-pihak yang tidak patuh aturan lingkungan,” tegasnya.
Danny juga mengingatkan risiko pembukaan lahan di hulu yang berdampak pada bencana di hilir, seperti yang terjadi di Luwu dan Toraja. Menurutnya, perlindungan kawasan hulu harus menjadi prioritas, karena degradasi di hulu akan mengancam lahan pertanian dan ekosistem di wilayah hilir.
Baca Juga : Bawaslu Sulsel Minta Penggiat Media Sosial Turut Awasi Pilkada Serentak
“Kalau hulu tidak dilindungi, maka daerah hilir akan habis, pertanian bisa hancur. Sudah saatnya kita sepakat dengan pusat agar hulu dilindungi,” ungkap Danny penuh semangat.
Dalam strategi perlindungannya, Danny mengusulkan pendekatan berbasis ekonomi biru dan teknologi hijau untuk mengembangkan tambang yang lebih ramah lingkungan.
Ia menekankan perlunya koordinasi erat antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam upaya menjaga kawasan hulu serta sungai sebagai sumber air bersih bagi masyarakat.
Baca Juga : AJI Makassar Gelar Pelatihan Cek Fakta, Kupas Visi-Misi Cagub Sulsel Bagi Kelompok Marginal
Selain soal lingkungan, Danny mengkritisi kebijakan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang selama ini dinilai kurang melibatkan masyarakat, terutama masyarakat adat seperti di Rongkong, Rampi, dan Seko.
“Masyarakat adat perlu dilibatkan dalam penyusunan RDTR, karena jika tidak, dampak yang muncul bisa seperti banjir permanen di Luwu,” kata Danny, menyoroti pentingnya suara masyarakat lokal dalam perencanaan pembangunan.