ABATANEWS – Presidium Nasional Forum Politisi Muda Indonesia (FPMI) turut menanggapi pernyataan KPU RI terkait kemungkinan pemilihan proporsional tertutup 2024. Di mana hal tersebut hanya akan menghambat peluang anak muda.
Beberapa waktu lalu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Hasyim Ashari menyampaikan ada kemungkinan masyarakat akan mencoblos partai saja dan bukan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024. Artinya, Pemilu akan kembali pada system pemilihan proporsional tertutup
Terkait hal tersebut, Presidium Nasional Forum Politisi Muda Indonesia (FPMI) mengaku pernyataan tersebut akan membuat kegaduhan politik. Apalagi saat ini tahapan pemilu sudah berjalan.
Baca Juga : Bawaslu Sebut Pilkada di Sulsel Rawan Konflik, Pemilu 2024 Jadi Patokan
Koordinator Presidium FPMI Nasional, Yoel Yosaphat mengungkapkan perlu kajian yang panjang dan matang untuk mengubah kembali system pemilihan pemilu. Apalagi, Ketua KPU RI juga tidak memiliki kapasitas untuk menyatakan hal tersebut.
“Karena KPU hanyalah pelaksana teknis, mengeksekusi perintah Undang-Undang. Apalagi Ketua Komisi II DPR-RI sudah memberikan pernyataannya juga bahwa persoalan ini adalah kajiannya harus matang dan panjang, kita sepakat dan mendukung itu. Tidak boleh tahapan sedang berjalan tiba-tiba harus diubah,” papar legislator muda Bandung tersebut.
Di tempat terpisah, Presidium FPMI Kordinator bidang media, informasi dan komunikasi, Adri Irawan Mus menuturkan bahwa memang selalu ada plus-minus setiap system pemilihan. Baik proporsional terbuka maupun tertutup.
Baca Juga : DKPP RI Terima 565 Aduan Sepanjang Tahun 2024, 21 Dari Sulsel
Namun, proporsional tertutup yang selama ini digunakan di masa orde baru, semakin menguatkan oligarki dan dinasti politik dalam kepartaian. Selain itu, hanya menjauhkan partisipasi dan hubungan politik masyarakat dengan wakil mereka di parlemen.
Berdasar UU Dasar 1945 Bab VII tentang pemilihan umum pasal 22E ayat 2 Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%.
Hak dipillih dan memilih adalah Hak Politik Warga Negara merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki oleh warga negara dimana asas kenegaraannya menganut asas demokrasi. Lebih luas hak politik itu merupakan bagian dari hak turut serta dalam pemerintahan.
Baca Juga : PKS Temui Prabowo, Sinyal Masuk Kabinet Prabowo-Gibran?
“Demokrasi kita yang sudah dewasa hari ini, sudah sangat terbuka, jangan sampai mengalami regresi demokrasi, bukan malah maju malah makin mundur. Kita juga tidak ingin masyarakat seakan “memilih kucing dalam karung”. Parpol bisa saja sesukanya menempatkan calonnya ketika mendapatkan suara yang besar,” paparnya.
Proporsional tertutup ini dikhawatirkan akan terjadi kongkalikong atau persekongkolan elit politik secara internal. Bahkan menghambat generasi muda yang potensial untuk memiliki kesempatan dan ruang untuk turut mengambil andil posisi sebagai wakil rakyat.
Apalagi dengan fenomena genotokrasi yang dimana golongan-golongan tua terlalu abuse of power dan menutup kran anak muda untuk masuk dalam pengambil kebijakan.
Baca Juga : Jelang Purna Tugas, Jokowi Mulai Kemas-kemas Barang di Istana
“Kami hawatir, teman-teman muda yang memiliki semangat dan idealisme yang kuat untuk bertarung dalam kontestasi politik, akan mudah dipatahkan oleh elit politik jika diberlakukan proporsional tertutup. Coba kita bandingkan, berapa jumlah anak muda yang duduk di parlemen saat orde baru dan saat proporsional terbuka? Jau beda kan ?,” pungkasnya.