ABATANEWS, JAKARTA — Kematian tragis dokter Aulia Risma Lestari, peserta Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, telah memicu keprihatinan dan diskusi luas tentang budaya perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran.
Aulia ditemukan tewas di kamar kosnya pada 12 Agustus lalu, dan dugaan bunuh diri akibat tekanan dari lingkungan sekitar kian mengemuka.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang tengah melakukan investigasi menyatakan bahwa Aulia sering menjadi korban pemalakan oleh seniornya di PPDS sejak semester pertama, antara Juli hingga November 2022.
Baca Juga : Sulitnya Jadi Dokter Spesialis, Menkes Sebut Ada Praktik Pelecehan Seksual hingga Palak
“Jumlah uang yang diminta dari korban berkisar antara Rp 20-40 juta per bulan,” ungkap dr. Mohammad Syahril, Juru Bicara Kemenkes.
Yang mengejutkan, dana yang dikumpulkan Aulia sebagai bendahara angkatan ternyata digunakan untuk keperluan non-akademik, seperti membiayai kebutuhan senior dan menggaji pekerja harian lepas (OB).
Beban ini diduga menjadi salah satu penyebab utama tekanan psikologis yang dialami Aulia selama menempuh pendidikan spesialis.
Baca Juga : Dokter di Lampung Dikeroyok Dua Pasien
Dalam upaya mengusut tuntas kasus ini, Kemenkes bekerja sama dengan Kepolisian dan telah menyerahkan sejumlah bukti, termasuk catatan harian dan rekaman suara milik Aulia, yang mengungkap praktik pemalakan tersebut.
“Bukti dan kesaksian mengenai permintaan uang di luar biaya pendidikan sudah diserahkan ke pihak kepolisian,” tambah Syahril.
Namun, Universitas Diponegoro membantah adanya isu perundungan yang dituduhkan. Di sisi lain, penghentian sementara program PPDS Anestesi di RSUP Dr. Kariadi, tempat Aulia menempuh pendidikan, menjadi sinyal kuat bahwa ada masalah serius yang perlu diselesaikan di dalam sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia.