ABATANEWS, JAKARTA — Puasa Syawal merupakan salah satu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Puasa ini dilakukan selama enam hari di bulan Syawal setelah hari raya Idulfitri.
Dasar pelaksanaan puasa Syawal tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an, namun landasan utamanya berasal dari hadis Nabi Muhammad SAW serta penjelasan para ulama.
Meskipun Al-Qur’an tidak menyebutkan puasa Syawal secara spesifik, terdapat ayat-ayat yang mendorong umat Islam untuk memperbanyak ibadah sunnah demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Salah satunya adalah dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 yang menyebutkan kewajiban puasa Ramadhan, diikuti dorongan untuk bersyukur dan beribadah lebih banyak setelahnya. Puasa Syawal dapat dipahami sebagai bentuk syukur atas nikmat menyelesaikan puasa Ramadhan, sebagaimana Allah berfirman dalam Surah Az-Zumar ayat 7: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu.”
Keutamaan puasa Syawal lebih jelas disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim, no. 1164).
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim, no. 1164).
Hadis ini menunjukkan bahwa puasa Syawal memiliki pahala luar biasa, setara dengan puasa satu tahun penuh. Hal ini karena dalam ajaran Islam, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat.
Puasa Ramadhan selama 30 hari setara dengan 300 hari, ditambah puasa Syawal 6 hari yang setara dengan 60 hari, sehingga totalnya mendekati 360 hari atau satu tahun.
Pandangan Ulama: Puasa Pengganti atau Puasa Syawal?
Terkait pertanyaan mana yang lebih diutamakan antara puasa pengganti (qadha) Ramadhan dan puasa Syawal, para ulama memiliki pandangan yang berbeda berdasarkan konteks dan prioritas syariat.
- Pendapat yang Mengutamakan Puasa Qadha
Sebagian ulama, seperti mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa puasa qadha wajib didahulukan karena merupakan kewajiban yang harus segera dilunasi. Hal ini merujuk pada Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 185: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” Menunda qadha tanpa alasan yang jelas dianggap tidak sesuai dengan perintah syariat. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki utang puasa Ramadhan, maka menyelesaikannya lebih utama sebelum melakukan puasa Syawal. - Pendapat yang Mengutamakan Puasa Syawal
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa puasa Syawal bisa didahulukan karena memiliki waktu pelaksanaan yang terbatas, yaitu hanya di bulan Syawal. Sementara puasa qadha dapat dilakukan kapan saja sebelum Ramadhan berikutnya. Pendapat ini didukung oleh keutamaan khusus yang disebutkan dalam hadis di atas, yang menunjukkan nilai istimewa puasa Syawal. - Solusi Tengah
Ulama seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menawarkan solusi tengah. Beliau menyatakan bahwa jika waktu di bulan Syawal masih cukup, seseorang bisa mendahulukan puasa qadha, lalu melanjutkan dengan puasa Syawal. Namun, jika waktu terbatas, puasa Syawal boleh didahulukan dengan niat ganda (qadha sekaligus Syawal), meskipun pahala penuh puasa Syawal mungkin tidak tercapai secara maksimal.
Puasa Syawal adalah ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dengan landasan kuat dari hadis Rasulullah SAW, sebagai bentuk syukur dan pelengkap puasa Ramadhan.
Dalam memilih antara puasa qadha dan puasa Syawal, mayoritas ulama cenderung mengutamakan puasa qadha karena sifatnya wajib.
Namun, fleksibilitas dalam pelaksanaan memungkinkan umat Islam untuk menyesuaikan sesuai kondisi masing-masing, selama niatnya tetap ikhlas karena Allah SWT.
Umat Islam diimbau untuk memanfaatkan bulan Syawal dengan sebaik-baiknya, baik untuk melunasi utang puasa maupun menambah amal sunnah, demi meraih keberkahan dan pahala yang berlipat ganda. Wallahu a’lam bish-shawab.