Minggu, 06 Juli 2025 19:32

Penari Cilik Pacu Jalur Kuansing: Magnet Budaya Riau yang Mendunia

Penari Cilik Pacu Jalur Kuansing: Magnet Budaya Riau yang Mendunia

ABATANEWS, RIAU — Pada awal Juli 2025, dunia maya diramaikan oleh sebuah video yang menampilkan seorang anak kecil menari dengan penuh percaya diri di ujung perahu panjang yang melaju kencang di Sungai Batang Kuantan.

Bocah yang mengenakan pakaian tradisional Melayu lengkap dengan kacamata hitam ini menjadi sensasi global, memicu tren “aura farming” di TikTok dan menarik perhatian tokoh dunia seperti bintang NFL Travis Kelce hingga klub sepak bola Paris Saint-Germain (PSG).

Namun, di balik viralnya tarian ini, terdapat kisah budaya, sejarah, dan peran unik penari cilik dalam tradisi Pacu Jalur yang jarang diketahui khalayak.

Pacu Jalur: Warisan Budaya Berusia Ratusan Tahun

Pacu Jalur, yang berarti “lomba perahu” dalam bahasa Minangkabau Timur, adalah tradisi balap perahu kayu khas Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, yang telah ada sejak abad ke-17.

Awalnya, perahu panjang ini digunakan sebagai alat transportasi untuk mengangkut hasil bumi seperti pisang dan tebu, bahkan hingga 60 orang, di sepanjang Sungai Batang Kuantan.

Seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi festival budaya tahunan yang merayakan solidaritas antar-kampung, sportivitas, dan kebanggaan kolektif.

Pada masa kolonial Belanda, Pacu Jalur menjadi bagian dari perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina, dan kini diadakan setiap Agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.

Perahu “jalur” yang digunakan memiliki panjang 25-40 meter, dihiasi ornamen warna-warni seperti kepala naga, payung Minangkabau, dan umbul-umbul, yang mencerminkan identitas desa dan status sosial.

Festival ini tidak hanya tentang kecepatan, tetapi juga seni, musik tradisional, dan ritual spiritual yang melibatkan pawang perahu untuk membawa keberuntungan.

Peran Penari Cilik: Lebih dari Sekadar Tarian

Penari cilik yang viral, dikenal sebagai Tukang Tari atau Anak Coki, adalah elemen penting dalam Pacu Jalur. Mereka berdiri di ujung depan perahu, memberikan semangat kepada 40-60 pendayung di belakangnya.

Menurut Mahviyen Trikon Putra, seorang praktisi Pacu Jalur, Tukang Tari atau Togak Luan (berdiri di haluan) berperan sebagai motivator dan penanda posisi tim.

Gerakan tarian mereka, yang disebut “aura farming” karena karisma dan kepercayaan dirinya, menjadi sinyal visual: jika mereka menari dengan penuh semangat, itu menandakan perahu mereka unggul. Jika hanya berayun santai, perlombaan masih berimbang.

Pemilihan anak-anak sebagai Tukang Tari bukan tanpa alasan. Bobot tubuh mereka yang ringan memastikan moncong perahu tidak terbebani, menjaga keseimbangan dan kecepatan.

Salah satu penari cilik, Rizal (12), mengaku belajar menari secara otodidak dari video dan termotivasi untuk melestarikan budaya sambil mencari kesenangan. “Ingin viral saja, enggak takut jatuh ke sungai karena saya mahir berenang,” ujarnya dengan sumringah, mengutip situs resmi Kemenparekraf.

Selain Tukang Tari, ada dua peran lain di perahu: Timbo Ruang di tengah yang memberikan komando kepada pendayung, dan Tukang Onjai di belakang yang mengatur arah.

Sinergi ketiganya menciptakan harmoni yang vital untuk keberhasilan tim. Menariknya, keberadaan penari cilik sempat dihilangkan pada beberapa gelaran, tetapi sejak beberapa tahun terakhir menjadi elemen wajib untuk memperkaya nilai budaya festival.

“Aura Farming”: Dari Tradisi Lokal ke Fenomena Global

Istilah “aura farming” muncul dari kalangan Gen Z dan Gen Alpha untuk menggambarkan tindakan atau pose seseorang yang memancarkan karisma dan kepercayaan diri. Video penari cilik Pacu Jalur, diiringi lagu Young Black & Rich karya Melly Mike, menjadi viral karena gerakan sederhana namun penuh gaya, seperti menepuk udara dan mengayunkan tangan, yang dianggap “cool” dan “badass.”

Video ini menembus algoritma global TikTok, ditonton jutaan kali, dan diparodikan oleh akun resmi PSG, AC Milan, hingga bintang seperti Travis Kelce, yang menyandingkan tarian ini dengan jogetannya di lapangan American football.

Fenomena ini tidak hanya menghibur, tetapi juga membawa Pacu Jalur ke panggung dunia. Roni Rakhmat, Kepala Dinas Pariwisata Riau, menyebutnya sebagai “kebanggaan luar biasa” yang membuktikan daya tarik universal budaya lokal.

Ia optimistis bahwa Pacu Jalur 2025, yang akan digelar pada 20-24 Agustus di Tepian Narosa, Teluk Kuantan, akan menarik lebih banyak wisatawan domestik dan internasional, meningkatkan ekonomi lokal melalui UMKM dan pariwisata.

Sisi Spiritual dan Solidaritas yang Jarang Diketahui

Di balik kemeriahan, Pacu Jalur sarat dengan nilai spiritual. Masyarakat Kuansing percaya bahwa kemenangan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan fisik, tetapi juga olah batin dari pawang perahu.

Ritual magis dilakukan sejak pemilihan kayu, pembuatan perahu, hingga penarikan perahu dari hutan (maelo jalur), yang dulunya melibatkan solidaritas seluruh kampung. Tradisi maelo jalur kini mulai memudar karena penggunaan alat berat, tetapi tetap menjadi simbol gotong royong yang mengikat komunitas.

Menurut tokoh adat Emil Harda, proses pembuatan perahu adalah ritual panjang yang mencerminkan hubungan masyarakat dengan alam dan leluhur. Perahu yang dihias dengan kepala hewan seperti naga atau harimau melambangkan kekuatan dan keberanian, sementara dentuman meriam sebagai tanda start menambah intensitas suasana.

Dampak Viral: Peluang dan Tantangan

Viralnya penari cilik membawa peluang besar bagi Kuansing. Festival Pacu Jalur, yang telah masuk dalam Kharisma Event Nusantara sejak 2014, tercatat menarik 1,3 juta pengunjung pada 2022. Dengan tren “aura farming,” jumlah ini diperkirakan melonjak pada 2025, memberikan dampak ekonomi bagi pedagang lokal dan perantau yang pulang kampung.

Namun, tantangannya adalah menjaga autentisitas budaya di tengah modernisasi dan popularitas global. Mahviyen Trikon Putra berharap viralitas ini tidak hanya meningkatkan kunjungan wisata, tetapi juga memperkuat kesadaran generasi muda untuk melestarikan tradisi.

Penulis : Azwar
Komentar