ABATANEWS, JAKARTA — Korea Utara mengumumkan rencana tegas untuk memutus seluruh akses jalan dan rel kereta api yang menghubungkan mereka dengan Korea Selatan mulai Rabu (9/10/2024).
Langkah ini diklaim sebagai upaya “memisahkan sepenuhnya” kedua negara, yang dipandang oleh banyak pengamat sebagai strategi simbolis untuk memperkuat isolasi politik dan militer.
Tentara Rakyat Korea (KPA) menggambarkan keputusan tersebut sebagai tindakan defensif guna mencegah perang, yang mereka katakan dipicu oleh latihan militer Korea Selatan dan kehadiran aset nuklir Amerika Serikat di wilayah tersebut.
“Situasi militer di Semenanjung Korea semakin akut, sehingga angkatan bersenjata DPRK harus mengambil tindakan lebih tegas untuk melindungi keamanan nasional,” ujar pernyataan KPA yang dipublikasikan melalui media pemerintah KCNA.
Namun, langkah penutupan ini dianggap sebagian besar bersifat simbolis. Akses jalan dan rel kereta api antara kedua Korea telah jarang digunakan selama setahun terakhir, bahkan beberapa di antaranya telah dibongkar secara bertahap oleh Korea Utara.
Langkah ini mempertegas sikap Korea Utara yang tampaknya semakin menghindar dari upaya reunifikasi, sebagaimana yang disampaikan oleh Kim Jong Un pada awal 2023.
Kim menyatakan bahwa reunifikasi dengan Korea Selatan bukan lagi prioritas negaranya, yang menimbulkan kekhawatiran baru tentang potensi konflik di Semenanjung Korea.
Banyak pihak mengharapkan perubahan konstitusional yang signifikan terkait kebijakan unifikasi pada sesi Majelis Rakyat Tertinggi Korea Utara (SPA) yang berlangsung minggu ini.
Namun, hingga akhir sesi tersebut pada hari Selasa, tidak ada pengumuman tentang revisi kebijakan unifikasi atau perbatasan.
Analis memperkirakan, keputusan final mungkin bergantung pada hasil Pilpres AS yang akan datang.
“Korea Utara mungkin menunggu untuk melihat sikap pemerintahan AS yang baru sebelum membuat keputusan konkret,” ungkap Hong Min dari Institut Korea untuk Unifikasi Nasional.
Dengan demikian, keputusan untuk memutus akses ke Korea Selatan ini tampaknya lebih sebagai pernyataan politik daripada sebuah langkah militer agresif.
Sementara itu, dunia internasional terus memperhatikan perkembangan ini dengan waspada, bertanya-tanya apakah tindakan Korea Utara hanyalah simbolisme belaka atau sinyal dari eskalasi yang lebih besar di kawasan tersebut.