ABATANEWS, JAKARTA — Anggota MPO PB IKA PMII, Idrus Marham, tampil sebagai salah satu tokoh yang paling vokal menyoroti memanasnya konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia menegaskan bahwa NU bukan arena perebutan kekuasaan segelintir elite, melainkan rumah besar umat yang harus dijaga martabat dan khittahnya.
Ketegangan di tubuh PBNU meningkat setelah beredar Risalah Rapat Harian Syuriah PBNU yang meminta Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), mundur dalam tiga hari. Risalah itu, yang memuat tanda tangan Rais ‘Aam PBNU K.H. Miftachul Akhyar, menyebut Syuriah akan memberhentikan Gus Yahya bila desakan itu tidak dipenuhi.
Gus Yahya menolak untuk mundur. Ia menegaskan masa jabatannya merupakan amanah Muktamar ke-34 untuk lima tahun penuh. Ia juga mempertanyakan keabsahan risalah tersebut karena masih menggunakan tanda tangan manual dan bukan digital.
Baca Juga : Gus Yahya Tolak Mundur dari Jabatan Ketua PBNU
Dalam pertemuan terbatas dengan para Ketua PWNU se-Indonesia di Surabaya, Gus Yahya memberikan penjelasan panjang ihwal dinamika tersebut dan menyerahkan sikap kepada masing-masing PWNU. Namun sejumlah media menyebut banyak Ketua PWNU tidak hadir dalam forum itu.
Idrus Marham: NU Bukan Milik “Elite Kecil”
Di tengah turbulensi itu, Idrus menegaskan bahwa NU tidak boleh terperosok menjadi arena konsolidasi kepentingan kelompok tertentu.
Baca Juga : Idrus Marham Sebut Prabowo Bukan Pemimpin yang Bisa Didikte
“NU ini milik rakyat, milik warga NU, bukan milik satu kelompok kecil,” tegas Idrus, dalam keterangan tertulisnya yang diterima pada Selasa (25/11/2025).
Ia menilai dinamika yang terjadi sudah menyimpang dari jati diri NU sebagai jam’iyyah yang berdiri di atas nilai musyawarah, kebersamaan, dan pengabdian untuk umat serta bangsa. Menurutnya, organisasi sebesar NU tidak boleh dikapling oleh kepentingan sesaat.
Idrus mengingatkan kembali bahwa NU dibangun oleh para muassis yang sepenuhnya berdedikasi bagi umat, para tokoh seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Abdul Chalim, dan sejumlah kiai besar lainnya yang mewariskan NU sebagai rumah umat yang teduh dan berakhlak.
Baca Juga : Waketum Golkar: Musda Golkar Sulsel 2025 Jadi Momentum Kebangkitan, Bukan Ajang Kuasai Partai
“Semua ini diceritakan sekadar untuk mengentalkan ingatan historis kita bersama,” ujar Ketua IKA UIN Alauddin Makassar itu.
Idrus menyebut degradasi nilai keumatan dan kebangsaan yang menjadi ruh perjuangan para pendiri NU bisa dikategorikan sebagai “dosa besar”.
Idrus Serukan Rekonsiliasi dan Dialog Kiai Sepuh
Baca Juga : Idrus Marham: Ajakan Dialog Tokoh Kritis Cerminkan Kepemimpinan Otentik Prabowo
Idrus Marham mendorong agar masalah internal PBNU diselesaikan secara kekeluargaan, bukan dengan eskalasi politik internal. Ia menyarankan dialog melibatkan para kiai sepuh dan tokoh moral untuk menghasilkan solusi yang adil dan berkelanjutan.
Ia memperingatkan bahwa bila konflik tidak segera diredam, yang terancam bukan hanya wibawa PBNU, tetapi juga kepercayaan warga NU.
“Tidak cukup hanya klarifikasi internal, tetapi perlu ada langkah nyata menuju rekonsiliasi dan transparansi,” tegasnya.
Baca Juga : Pesan Idrus Marham ke Amran Sulaiman: Kalau Tidak Mau Pimpin KKSS, Anda Tidak Bertanggung Jawab
Isu yang Memicu Konflik
Risalah Syuriah yang memicu kontroversi memuat beberapa poin tuduhan, antara lain:
- dugaan ketidaktransparanan dalam pengelolaan keuangan PBNU,
- kehadiran narasumber dalam acara Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN) NU yang dinilai kontroversial karena terkait jaringan internasional.
Gus Yahya mengakui persoalan itu telah dibahas dalam Syuriah dan menyebut beberapa pengurus menyatakan penyesalan atas kurangnya informasi awal setelah ia memberi penjelasan.
Baca Juga : Idrus Marham Tantang Amran Sulaiman Pimpin KKSS, Berani?
Melihat dinamika kepengurusan yang retak, Idrus menilai krisis ini harus menjadi momentum bagi NU untuk menguatkan kembali jati dirinya.
“NU harus kembali pada khittahnya, menjaga tradisi, meneguhkan akhlak, dan menjadi penuntun moral kehidupan umat serta bangsa,” kata Idrus.
Menurutnya, kepentingan selain umat dan bangsa tidak boleh masuk menguasai ruang gerak organisasi. Jika NU berubah menjadi panggung perebutan pengaruh, maka NU akan kehilangan marwah sekaligus kepercayaan warga yang selama ini menjadikannya rumah besar.