ABATANEWS, MAKASSAR – Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), menyoroti tantangan struktural ekonomi Indonesia yang masih terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Disaat bersamaan, ketergantungan secara berlebihan juga masih terjadi pada sumber daya alam, khususnya sektor pertambangan.
Hal tersebut disampaikan JK saat menyampaikan keynote speech dalam acara Sarasehan Ekonomi “Jalan Baru Ekonomi Indonesia: Evaluasi dan Rekonstruksi Strategi Pembangunan Indonesia”.
Baca Juga : Beri Kuliah Umum di Unhas, Menhan Sjafrie Dorong Generasi Muda Mampu Ambil Risiko dan Loyal Kepada Pancasila
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas) Dalam Rangka Dies Natalis ke-77 Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unhas, di Arsjad Rasjid Lecture Theater, Kampus Unhas, Senin (15/12/2025).
JK menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada pada kategori negara berpendapatan menengah, dengan pendapatan per kapita sekitar USD 5.000–15.000. Untuk mencapai target Indonesia Emas, menurutnya, pendapatan nasional harus meningkat hingga empat kali lipat agar dapat masuk kategori negara berpendapatan tinggi.
“Kalau kita ingin Indonesia Emas, maka pendapatan per kapita harus di atas USD 15.000. Artinya ekonomi kita harus naik sekitar empat kali lipat dari sekarang,” ujar JK.
Baca Juga : JK Minta Pengurus Masjid Adakan Sholat Ghaib dan Penggalangan Dana untuk Korban Bencana Sumatera
Namun, JK mengingatkan bahwa upaya tersebut terhambat oleh kesalahan kebijakan ekonomi, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam.
Ia menilai insentif fiskal seperti tax holiday justru lebih banyak diberikan kepada sektor pertambangan, bukan kepada sektor manufaktur yang memiliki nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, dan transfer teknologi.
“Kesalahan terbesar kita adalah memberikan insentif besar kepada sektor sumber daya alam, seperti nikel dan batu bara. Padahal seharusnya insentif itu diberikan ke sektor manufaktur,” tegasnya.
Baca Juga : Kadispat Makassar Jadi Pembicara PAPPRI Goes to Campus di Unhas
JK juga mengkritik kebijakan hilirisasi yang dinilai belum sepenuhnya memberi manfaat bagi rakyat. Ia menyebut sebagian besar industri pengolahan nikel justru dikuasai pihak asing, sementara dampak lingkungan dan kerugian fiskal ditanggung negara.
“Pertumbuhan ekonomi memang terlihat tinggi di daerah tambang, tetapi itu bukan untuk rakyat. Pajaknya minim, lingkungannya rusak, dan keuntungannya lebih banyak dibawa keluar,” katanya.
Selain itu, JK menyoroti lemahnya kepastian hukum dan sering berubahnya regulasi yang membuat investor enggan menanamkan modal di Indonesia. Kondisi tersebut, menurutnya, menyebabkan investasi Indonesia kalah dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Baca Juga : Dies Natalis ke-43 FKM Unhas, Wali Kota Munafri Dorong Sinergi Percepatan Zero Stunting
Dalam konteks global, JK menjelaskan bahwa dunia saat ini tengah memasuki fase deglobalisasi dan meningkatnya nasionalisme ekonomi, dipicu oleh konflik geopolitik seperti perang Rusia–Ukraina dan perang dagang Amerika Serikat–China. Kondisi tersebut berdampak pada penurunan permintaan global dan harga komoditas unggulan Indonesia.
Ia juga menyinggung perlambatan ekonomi domestik yang terlihat dari turunnya daya beli masyarakat, meningkatnya pengangguran terselubung, serta tingginya jumlah lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap pasar kerja.
“Sekarang 25 persen pengemudi ojek online itu sarjana. Ini menunjukkan ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dan lapangan kerja,” ungkap JK.
Baca Juga : Jusuf Kalla: Keadilan adalah Kunci Utama Mencegah Konflik Sosial dan Keagamaan
JK menilai Indonesia perlu menata ulang strategi pembangunan ekonomi dengan fokus pada industri manufaktur, pendidikan vokasi, pelatihan kerja, serta reformasi hukum agar lebih berpihak pada penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan berkelanjutan.
“ekonomi bukan hanya soal pasar saham. Lihatlah pasar-pasar rakyat, di sanalah kondisi ekonomi yang sesungguhnya,” pungkasnya.
Sarasehan ekonomi tersebut dihadiri oleh civitas akademika Unhas, mahasiswa, serta sejumlah tokoh akademisi dan praktisi ekonomi, sebagai bagian dari refleksi perjalanan 77 tahun Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas dalam kontribusinya terhadap pembangunan.