ABATANEWS, JAKARTA – Metode Digital Subtraction Angiography (DSA) ala Terawan Agus Putranto yang dimodifikasi menjadi Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) yang diklaim bisa menyembuhkan pasien stroke menuai banyak respons positif dari banyak orang. Termasuk testimoni dari pasien yang merasakan manfaat baik dari metode yang dikenal dengan ‘cuci otak’ itu.
Mendapat dukungan dari banyaknya testimoni, membuat Dosen Universitas Airlangga, Dr dr Windhu Purnomo menegaskan, bila metode yang diajukan oleh Terawan belum terakui sebagai metodologi ilmiah yang benar di dunia kedokteran.
Ia menegaskan, bila penyembuhan hanya didasari pada fakta testimoni oleh orang-orang tertentu, maka pengobatan itu disebut bukan dari kalangan medis, melainkan dukun.
Baca Juga : Sulitnya Jadi Dokter Spesialis, Menkes Sebut Ada Praktik Pelecehan Seksual hingga Palak
Windhu mengungkapkan dalam melakukan penelitian di dunia kedokteran harus berdasarkan evidence-based medicine (EBM).
“Ya enggak begitu (hanya berdasarkan testimoni), tentu tidak, ya. Kalau gitu nanti Ponari, Ningsih Tinampi, itu kan banyak banget, tuh, testimoni yang mengatakan bahwa pengobatannya berhasil. Terus kita bisa mengatakan bahwa pengobatan itu benar, yang katanya banyak orang sampai ratusan datang bahwa mereka percaya itu manjur, apa begitu? Itu, kan, dukun namanya,” ungkap Windhu, melansir Kumparan, pada Selasa (5/4/2022).
Windhu menjelaskan, dalam ilmu kedokteran prinsip yang diterapkan harus menjamin keselamatan dan kesehatan masyarakat sehingga metode pengobatan harus berdasarkan EBM.
Baca Juga : Semasa Hidup, Dokter Aulia Diduga Setor Uang ke Senior Sebesar Rp40 Juta Per Bulan
“Bagaimana bisa menjamin? Tentu sebuah metode terapi atau metode diagnostik harus berbasis pada bukti. Jadi itu yang kita sebut sebagai EBM, evidence-based medicine, itu dasarnya,” kata Windhu.
EBM berisikan 3 komponen yang harus terpenuhi, yaitu relevant scientific evidence, clinical judgement, dan patients values and preferences.
Windhu menjelaskan relevant scientific evidence adalah bukti ilmiah yang relevan melalui data riset.
Baca Juga : Dokter di Lampung Dikeroyok Dua Pasien
“Relevant scientific evidence itu mutlak dari sebuah riset, bukan sekadar testimoni seperti dukun.”
Yang kedua, mengenai clinical judgement. Artinya, jika dokter itu memang sudah disebut kompeten, maka dokter yang bersangkutan ketika melakukan terapi atau diagnostik, sudah melewati uji kompetensi.
Ketiga, patients values and preferences yang artinya pasien itu juga mempunyai nilai-nilai sendiri.
Baca Juga : Gubernur Sulsel Buka 69th COE Perhimpunan Dokter Spesialis Ortopedi dan Traumatologi Indonesia
“Pasien itu punya subjektivitas, jadi ada pasien itu sudah diterapi dengan benar oleh seorang dokter misalnya, tapi secara subjektif pasien tidak merasa sembuh, ada itu. Jadi Anda tahu bahwa sesuatu yang subjektif dan objektif itu bisa beda,” ungkapnya.
Dr Windhu menjelaskan bahwa terapi atau diagnostik dapat dikatakan lulus secara ilmiah harus berbasis pada riset dan tidak hanya berdasarkan opini.
“Di dalam relevant scientific evidence artinya sebuah terapi atau diagnostik dinyatakan lulus secara ilmiah dia harus melalui sebuah riset, bukan sekadar expert opinion,” tuturnya.
Baca Juga : Viral Video Vanessa Bisa Jalan Lagi Usai Disuntik Vaksin Nusantara, Terawan: Tuhan yang Sembuhkan
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa opini dari ahli adalah gradasi terbawah. Bahkan jika seorang presiden memberikan testimoni sembuh, tetap saja harus melalui riset.
“Opini dari ahli itu adalah gradasi terbawah, apalagi patient opinion. Sekalipun dia presiden mempunyai opini atau testimoni bahwa saya sembuh setelah dilakukan cuci otak, cuci otak itu bagus. Jadi itu opini dari pasien, opini dari awam. Opini expert aja tidak dipakai, kok, jadi harus melalui riset,” tuturnya.