Selasa, 15 Maret 2022 20:04

AHY: Presiden 3 Periode? Tidak dipilih Langsung Rakyat? Seumur Hidup? Bahaya

Ketua Umum Demokrat AHY tiba di Hotel Claro Makassar. (Foto: Abatanews/Imam)
Ketua Umum Demokrat AHY tiba di Hotel Claro Makassar. (Foto: Abatanews/Imam)

ABATANEWS, JAKARTA – Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan kritik keras, perihal wacana penundaan Pemilu 2024. Tak tanggung-tanggung, AHY malah menyebut, penundaan ini bisa saja menjadi jalan untuk mengabadikan masa jabatan presiden.

“Kalau disepakati penundaan pemilu, lalu apa? Perpanjangan masa jabatan presiden? Presiden 3 periode? Tidak dipilih langsung rakyat? Seumur hidup?,” tanya AHY dalam sambutannya di pelantikan DPD Demokrat, Kemayoran, Jakarta, pada Selasa (15/3/2022).

Menurutnya, untuk mewujudkan rencana penundaan pemilu, mesti didahului dengan melakukan amandemen UU 45. Nah, bila amandemen benar-benar dilakukan, maka konsekuensi lain pun memungkinkan terjadi.

Baca Juga : Bawaslu Sebut Pilkada di Sulsel Rawan Konflik, Pemilu 2024 Jadi Patokan

“Ini, kan, pintu masuknya jelas. Kalau mau lakukan perubahan, katanya konstitusi harus diamandemen dulu. Lalu batasnya apa? Ditunda 3 tahun? Kenapa tidak 10 tahun saja sekalian? Artinya ini bahaya. Siapa yang tahu berhenti di mana?,” lanjutnya.

AHY juga mengutip penyataan Lord Acton yang fenomenal terkait kekuasaan absolut yang akan menghasilkan perilaku korup.

Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely. Artinya adalah jangan biarkan kekuasaan tanpa batas. Ketika seorang pemimpin tidak mau turun takhta, maka biasanya rakyat yang akan mengoreksi. Betul tidak?,” tanya dia lagi.

Baca Juga : DKPP RI Terima 565 Aduan Sepanjang Tahun 2024, 21 Dari Sulsel

Menurutnya, perpanjangan masa jabatan presiden juga tidak sesuai dengan konstitusi dan semangat reformasi. AHY pun menegaskan agar para elite politik menghargai sejarah Reformasi 1998 dan tidak mencederai demokrasi Indonesia saat ini.

“Sudah lewat 20 tahun. Kita sepakat jangan mundur dari semangat reformasi. Jangan sampai terjadi. Kalau kita cederai demokrasi, mengkhianati reformasi, harganya terlalu mahal. Siapa yang tanggung harganya? Rakyat atau elite politik?,” tandasnya.

Komentar