UU Kementerian Digugat, Minta Menteri Tak Boleh Dijabat Anggota Parpol

ABATANEWS, JAKARTA — Empat mahasiswa menggugat Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka tidak hanya mempersoalkan menteri yang merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik, tetapi juga menyoroti bahaya melemahnya sistem presidensial akibat praktik tersebut.
Dalam sidang pendahuluan perkara Nomor 35/PUU-XXIII/2025 yang digelar Senin (28/4/2025), kuasa hukum pemohon, Abu Rizal Biladina, menjelaskan bahwa rangkap jabatan berpotensi mengaburkan pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif.
“Dalam sistem presidensial, selain berpotensi mempengaruhi anggota partainya yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat (DPR), Ketua Partai Politik menjadi menteri negara akan makin memperkuat corak parlementer, maka dari itu menimbulkan pelemahan sistem presidensial,” ujar Abu Rizal.
Keempat pemohon—Stanley Vira Winata, Kaka Effelyn Melati Sukma, Keanu Leandro Pandya Rasyah, dan Vito Jordan Ompusunggu—menganggap praktik tersebut menurunkan profesionalisme dalam pengangkatan menteri dan mengganggu keseimbangan antara lembaga negara.
Lebih dari itu, mereka menilai fenomena rangkap jabatan telah membuka ruang kompromi politik yang merugikan publik. Mereka mengungkapkan bahwa sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, praktik ini mulai dinormalisasi dan terus berkembang di pemerintahan berikutnya, termasuk di era Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Dalam permohonannya, para mahasiswa meminta MK agar pasal yang mereka gugat diartikan mencakup juga larangan bagi menteri untuk menjadi pengurus partai politik, bukan hanya pimpinan organisasi yang dibiayai negara seperti yang tertulis saat ini.
“Menyatakan Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara […] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mencakup pula pengurus atau fungsionaris partai politik’,” demikian petitum yang mereka bacakan.
Majelis Panel Hakim yang memeriksa perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, serta anggota hakim Daniel Yusmic P Foekh dan Arsul Sani. Kedua hakim memberi masukan agar pemohon memperkuat dasar argumentasi konstitusional serta kedudukan hukum mereka.
“Kenapa kok anggota DPR tidak bisa melakukan fungsi check and balances gara-gara ada menteri yang rangkap jabatan?” tanya Arsul.
Sementara itu, Daniel mendorong pemohon menyertakan perbandingan praktik pengangkatan menteri di negara lain dengan sistem pemerintahan serupa. Para pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan mereka.