Soegondo Djojopoespito: Sosok Pemuda Tuban di Balik Lahirnya Sumpah Pemuda

ABATANEWS, JAKARTA — Nama Soegondo Djojopoespito mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh lain dalam sejarah nasional, namun tanpa kepemimpinannya, Sumpah Pemuda 1928 mungkin tak akan lahir seperti yang kita kenal sekarang. Ia adalah Ketua Kongres Pemuda II, sosok muda asal Tuban yang berhasil menyatukan beragam organisasi pemuda dari seluruh Nusantara dalam satu tekad: “Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa — Indonesia.”
Lahir di Tuban, Jawa Timur, pada 22 Februari 1905, Soegondo tumbuh dalam lingkungan keluarga religius. Ayahnya, Kromo Sardjono, bekerja sebagai penghulu dan mantri juru tulis desa. Ia kemudian menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), MULO Surabaya, hingga AMS Yogyakarta, dan dikenal sebagai salah satu murid dari Ki Hadjar Dewantara — tokoh pendidikan nasional yang banyak memengaruhi pandangannya tentang kebangsaan dan kemerdekaan.
Memasuki era 1920-an, ketika semangat nasionalisme mulai tumbuh di kalangan pemuda Hindia Belanda, Soegondo aktif dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Organisasi ini dikenal karena tidak berbasis kesukuan, melainkan menempatkan semangat kebangsaan di atas segala perbedaan daerah. Dari sinilah, nama Soegondo mencuat sebagai figur pemersatu.
Kecakapannya dalam berdialog lintas organisasi membuat Soegondo dipercaya menjadi Ketua Panitia Kongres Pemuda II, yang digelar pada 27–28 Oktober 1928 di Batavia (kini Jakarta). Kongres ini mempertemukan organisasi pemuda dari berbagai daerah, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lainnya.
Dalam kongres tersebut, Soegondo memimpin tiga sesi rapat yang berlangsung di tiga lokasi berbeda. Ia membuka pertemuan pertama di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, melanjutkan sesi kedua di Oost Java Bioscoop, dan menutup kongres di Gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat 106 — yang kini dikenal sebagai Museum Sumpah Pemuda.
Pada sesi penutup, di hadapan ratusan pemuda, Soegondo dengan suara tegas membacakan hasil keputusan kongres yang kini abadi dalam sejarah sebagai Sumpah Pemuda. Dalam teks itu, para pemuda berikrar mengaku bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan — Bahasa Indonesia.
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Selain memimpin jalannya kongres, Soegondo juga berperan penting dalam menyatukan berbagai kelompok pemuda yang sebelumnya masih terpecah berdasarkan suku dan daerah. Ia memastikan setiap perbedaan bisa diatasi demi satu cita-cita bersama: kemerdekaan Indonesia.
Sejarawan mencatat, tanpa sosok seperti Soegondo, Kongres Pemuda II mungkin tidak akan mencapai konsensus besar yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam situasi politik yang masih berada di bawah penjajahan Belanda, keberaniannya memimpin kongres dan menyuarakan persatuan adalah langkah monumental.
Setelah peristiwa bersejarah itu, Soegondo tetap mengabdikan diri di bidang pendidikan dan kebangsaan. Ia dikenal sebagai tokoh yang rendah hati dan lebih memilih bekerja di balik layar ketimbang mencari popularitas. Atas jasanya, pemerintah kemudian menganugerahkan Bintang Jasa Utama kepada Soegondo Djojopoespito.
Hingga kini, banyak pihak, termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur, mendorong agar Soegondo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Gubernur Jatim pada 2021 bahkan secara resmi meminta agar nama Soegondo diajukan karena kontribusinya yang besar dalam mempersatukan bangsa di masa penjajahan.
Warisan Soegondo bukan hanya pada peristiwa 28 Oktober 1928, tetapi pada nilai yang ia bawa: bahwa persatuan lahir bukan dari keseragaman, melainkan dari kemauan untuk menerima perbedaan demi cita-cita bersama.