Pemerintah Disarankan Naikkan Upah Buruh, Jangan Hanya Beri ‘Gula-gula’ Saja
ABATANEWS, JAKARTA – Pemerintah diingatkan dan diminta untuk berhati-hati dalam memitigasi dampak dari kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebab, langkah tersebut, bisa berujung pada perubahan besar yang akan terjadi di Indonesia.
“Tidak semua perubahan besar di dunia itu di rencanakan, bisa tidak direncanakan dan bisa datang tiba-tiba, termasuk apa yang terjadi di kita. Jadi kita perlu waspada, rendah hati dan hati-hati dalam memitigasi keadaan ini,” kata Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam Gelora Talk bertajuk ‘Akhirnya Harga BBM Melambung Tinggi, Apa Dampaknya?, Rabu (7/9/2022).
Menurut Fahri, penderitaan masyarakat saat ini bertambah pilu, akibat dampak Covid-19 dan krisis global. Dimana pendapatan masyarakat tidak bertambah, namun pengeluaran bertambah berkali lipat.
Sehingga hal ini akan berpengaruh pada neraca keluarga masyarakat Indonesia, meskipun pemerintah telah menyiapkan bantalan-bantalan sosial sebagai antisipasi dampaknya.
“Ketika pemerintah memutuskan pencabutan subsidi untuk penyelamatan APBN, itu membawa resiko besar. Berpengaruh pada neraca rumah tangga keluarga masyarakat Indonesia. Karena pendapatannya tidak bertambah segitu-gitunya, tidak naik. Tetapi, pada saat yang sama ditekan dengan kenaikan harga BBM, sehingga menyebabkan inflasi tinggi dan menurunnya daya beli,” ujarnya.
Seharusnya, kata Fahri, pemerintah tidak menggunakan instrumen APBN dijadikan alasan untuk menambah beban rakyat, karena pada saat yang sama pemerintah mendapatkan windfall atau ‘durian runtuh’ dari keuntungan beberapa komoditas, disamping harga minya dunia saat ini sedang turun.
“Keputusan ini dianggap penuh dengan agenda di belakang layar, sembunyi-sembunyi dan tidak transparan. Dan kita sayangkan, anggota DPRnya sejak Omnibus Law itu fungsi anggaran dan pengawasan dimatikan, sehingga tidak ada perdebatan. Persekongkolan mereka sudah sempurna, kekuatanya sudah tidak ada ,,” ujarnya.
Karena itu, apabila ketika terjadi manuver-manuver politik yang terjadi di DPR, sudah dianggap tidak relevan lagi, karena publik melihat sudah tidak substantif.
“Ini akhirnya dihubungkan dengan upaya cari muka saja, termasuk yang dilakukan PKS kemarin. Semua sudah tidak ada harganya di mata masyarakat. Perlu ada reformasi politik besar-besaran di DPR agar struktur dan postur dari pengawasan rakyat ini menjadi menjadi kuat, kalau sekarang tidak ada sama sekali,” tegasnya.
Partai Gelora tidak berharap ada masyarakat miskin yang bunuh diri, akibat menghadapi tekanan kesulitan hidup saat ini yang dirasa semakin berat.
“Ini masalah serius yang harus diwaspdai, efek kepada rakyat memang ada bantalan-bantalan sosial yang sedang diusahakan. Tetapi sekali lagi, kita harus hati-hati, karena kita sendiri belum terlalu disiplin dengan data. Kita perlu memitigasi dan mengidentifikasi cara menolong orang-orang ini,” tandasnya.
“Kepada para pejabat, ya tolonglah agak rendah hati sedikit, untuk menimbang kesulitan masyarakat. Jangan merasa sok hebat, kalau diprotes. Sebab, banyak orang-orang yang tidak sanggup berbicara untuk menyatakan apa yang sebenarnya. Sementara lembaga perwakilannya sudah ditutup dan tidak berani bicara juga. Jadi penderitaan rakyat tambah pilu,” pungkas Fahri.
Sedangkan Andi Rahmat, Anggota DPR RI Periode 2004-2014 mengatakan, pemerintah seharusnya berani membeli minyak Rusia yang harganya lebih murah, sehingga bisa melakukan restrukturisasi belanja kompensasi, tidak perlu mencabut subsidi atau menaikkan harga BBM.
Sehingga Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan mengatakan bahwa kuota Pertalite pada September 2022 akan habis, karena besarnya konsumsi BBM hingga mencapai 1,5 juta kilo liter per hari, sehingga terjadi defisit BBM sekitar 400 ribu barel perhari yang harus diimpor.
“Pertamina sekarang ini tidak efisien dari sisi hulu dan hilirnya. Mereka tidak berani jawab ketika saya tanya, lebih murah mana beli minyak dari kilang minyak Singapura atau kilang Pertamina,” katanya.
Terlepas dari hal itu, jika menurut perhitungan Kementerian Keuangan terhadap kebijakan harga BBM terbaru, setelah penyesuaian harga BBM Solar di SPBU Rp 6,800 perliter berdasarkan harga Keekonomian Rp 14,750 perliter, maka kompensasinya menjadi Rp 7,450 perliter dan subsidinya Rp 500 perliter.
Pertalite harga Keekonomian Rp 13.150 perliter dengan harga jual Rp 10.000 perliter, maka biaya kompensasinya Rp 3.150 perliter dari sebelumnya Rp 5,500 perliter, Pertamax 92 dengan harga Rp 14,500 perliter dengan subsidi ditanggung Pertamina Rp 924 perliter.
“Tapi yang masih menimbulkan tanda tanya besar adalah mengapa Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 tentang Penyedian, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM sudah lama di meja Presiden belum ditanda tangani sampai dengan hari ini, sehingga tidak ada payung hukum siapa yang berhak membeli Solar Subsidi dan Pertalite,” ujarnya.
Sementara Pertamina sendiri sejak Juli hingga September 2022 telah merilis harga keekonomian Pertalite yang berkisar antara Rp 18.200 hingga Rp 18.700 perliter belum termasuk Pajak.
“Sehingga timbul pertanyaan, mengapa harga keekonomian Pertalite produk Pertamina sangat tinggi hingga mencapai diatas Rp 18.200 perliter belum termasuk pajak atapun sudah termasuk pajak ?” ujarnya.
Yusri menilai bisa jadi rilis yang dikutip Presiden Jokowi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri BUMN Erick Tohir yang dikatakan ke masyarakat, jangan-jangan adalah harga Pertalite yang tidak sebenarnya, alias menyesatkan.
“Patut diduga Direksi Pertamina Holding telah memberikan informasi tidak utuh kepada Pemerintah, atau sebaliknya Pemerintah telah mendapat informasi seutuhnya dari Pertamina, tetapi disampaikan kepada masyarakat tidak seutuhnya, hal ini harus diluruskan.
Selain itu juga, pada 28 April 2020 CERI menemukan bukti juga bahwa Direksi Pertamina terkesan berbohong kepada Presiden dalam Rapat terbatas Kabinet dengan agenda Simulasi Harga BBM Disaat Pandemi Covid19, yaitu ketika saat itu Pertamina tidak menurunkan harga BBM nya di saat di seluruh dunia menurunkan harga BBM dibawah harga normal, karena harga minyak mentah berada dibawah USD 20 perbarel.
Untuk hal ini, harusnya menjadi kewajiban Dirjen Migas menurunkan tim audit untuk menelisik item-item dari hulu ke hilir untuk memeriksa kewajaran pembentuk harga atas semua jenis BBM Pertamina, bukan malah menegor badan usaha Vivo yang menjual Revo89 dengan harga murah.
Oleh sebab itu, CERI berkesimpulan bahwa diduga telah terjadi proses bisnis yang tidak efisien dari hulu ke hilir dari beberapa subholding Pertamina, selain adanya komorbid atau penyakit bawaan seperti kontrak LNG, PI Blok Migas di luar negeri, pola tender di ISC dan proyek Sinergi Inkorporasi di PHE bernilai USD 2.16 miliar dari total anggaran USD 5.9 miliar dan proses tender RDMP Pertamina yang membuat Biaya Pokok Produksi mulai hulu hingga hilir bisa menjadi lebih mahal, apalagi setelah struktur subholding terbentuk tidak menjadi lebih efisien.
“Apakah wajar rakyat menanggung beban membeli BBM mahal akibat ketidak efisienan Pertamina. Maka jika Pertamina tidak bisa meringankan beban rakyat dan pemerintah, sebaiknya janganlah berbisnis Pertalite, biar diserahkan saja kepada swasta yang bisa memberikan harga termurah tidak membebani rakyat dan APBN,” tegas Yusri Yusman.