OPINI: Pakaian Tidak Ada Hubungannya dengan Pelecehan Seksual

OPINI: Pakaian Tidak Ada Hubungannya dengan Pelecehan Seksual

Oleh Nabelia Amanda*

ABATANEWS — Edukasi mengenai seks sering dianggap tabu, tetapi penting untuk kita pelajari sedari dini. Hal inilah yang menjadi alasan mendasar untuk mengurangi kasus pelecehan seksual. Dengan adanya edukasi yang baik maka pola pikir juga lebih terarah dan terbuka. Dengan mindset yang terbuka luas tidak akan ada tindakan merendahkan dan melakukan kekerasan terhadap sesamanya.

Sudah selayaknya hidup setiap manusia berhak atas kebebasan dan kemerdekaannya. Begitu juga untuk para perempuan. Seperti yang kita ketahui banyak rentetan kasus terhadap pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi. Tingginya angka kasus pelecehan seksual ini menjadi ketakutan tersendiri untuk kaum perempuan, meskipun bisa dialami oleh siapapun. Namun sebagian besar kasus pelecehan kerap dialami oleh kaum perempuan.

Tindak kriminal pelecahan seksual ini tentu terjadi akibat banyak faktor. Namun mirisnya cara bepakaian perempuan sering kali dikait -kaitkan. Korbannya tak hanya orang dewasa tetapi anak di bawah umur pun ikut menajdi korban. Pelakunya bahkan terkadang dari orang terdekat korban yang seharusnya melindungi korban dari kekerasan.

Kondisi semakin diperburuk dengan adanya stigma yang berkembang bahwa pakaian perempuan lah yang mendorong terjadinya pelecehan seksual. Cara pandang seperti inilah yang harus dihindari, banyak orang yang mempercayai stigma buruk cara berpenampilan kaum perempuan sebagai faktor utama terjadinya pelecehan. Namun kini, sudah banyak pula perempuan yang berani menyuarakan kesalahpahaman tentang ini.

Oleh karena itu, mindset seperti inilah yang harus kita ubah dan dihapuskan. Korban hanya ingin mengekspresikan atau merasa nyaman dengan apa yang dikenakannya bukan bentuk simbol izin untuk rayuan. Masyarakat juga harus open minded dengan tidak menyalahkan korban atau melindungi perbutan pelaku.

Komisioner Komnas Perempuan dan Anak, Siti Nur Herawati mengatakan, “Kenapa yang disalahkan pihak perempuan, hanya karena dengan menggunakan pakaian yang minim dan tubuhnya yang mengundang. ” Ia juga tegas menjelaskan contoh kasus pelecehan yang dialami perempuan yang justru menggunakan pakaian tertutup.

Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 pernah membuat survei mengenai model pakaian yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual. Hasilnya, pakaian yang dikenakan korban adalah rok panjang dan celana panjang (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek/sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau celana ketat (1,89%). Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%). Bila dijumlah, ada 17% responden berhijab mengalami pelecehan seksual.

Menyalahkan pakaian terhadap kasus pelecehan merupakan kesalahan daripada berpikir. Mengapa saya katakan demikian? Survei telah membuktikan bahwa pelecehan terjadi bukan hanya kepada mereka yang berpakaian terbuka. Namun juga terjadi pada mereka yang menggunakan hijab. Lalu sebab apa yang mereka tetap dilecehkan?
Ya, niat dan pikiran buruk pelaku. “Tidak akan ada asap tanpa adanya api” memang benar, namun di umpamakan sebab-akibat apinya itu bukanlah pakaian korban tapi pemikiran dan niat buruk pelaku lah sehingga timbul pelecehan sebagai asapnya.

Bagaimanapun gaya berpakaian kita gunakan adalah hak diri kita sendiri. Tidak ada korelasinya terhadap pakaian yang dikenakan perempuan. Tindak kekerasan seksual terjadi murni karena niat buruk pelaku. Tidak ada hal yang mengundang untuk dilecehkan. Sekalipun dengan korban yang berpakaian terbuka bukan alasan untuk membenarkan perilaku pelecehan.

*Penulis merupakan Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, IAIN Palangka Raya

Berita Terkait
Baca Juga