OPINI: No Viral, No Justice di Media Sosial Sebagai ‘Budaya’ Hukum Baru

oleh: Jumardin Akas (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Fajar)
ADAGIUM no viral no justice menjadi sering terdengar di media sosial. Fenomena ini adalah bentuk pesimisme warganet terhadap aparatur hukum yang tak mewakili perasaan hukum masyarakat. Di sisi lain, fenomena no viral no justice adalah bentuk partisipasi langsung masyarakat (people power) dan juga kontrol sosial (civil engagement) terhadap sebuah peristiwa yang dinilai sarat ketidakadilan.
Belakangan, media sosial seolah menjadi sebuah budaya hukum baru untuk mencari keadilan. Hal ini tak lepas dari respon penegak hukum terhadap sebuah peristiwa yang telah menjadi sorotan warganet. Tekanan lewat media sosial menyebabkan proses yang cepat dan transparan dari aparat. Kondisi yang kerap berulang ini membentuk persepsi bahwa sebuah kasus cenderung lebih cepat selesai jika telah diviralkan lewat berbagai kanal seperti instagram, X, tiktok dan YouTube.
Kasus terbaru yang masih hangat dibahas di sejumlah media massa adalah pembunuhan sepasang kekasih Vina dan Muhammad Rizki alias Eki asal Cirebon. Film “Vina Sebelum Tujuh Hari” membuka kembali tabir akan penegakan hukum dalam kasus tahun 2016 silam tersebut. Respon warganet yang begitu besar memunculkan sejumlah fakta baru dari peristiwa berdarah ini.
Dari sisi komunikasi, media sosial telah bertransformasi menjadi alat pemenuh kebutuhan akan keadilan lewat skenario viral yang melibatkan warganet. Hubungan individu dengan media ini seperti yang diungkapkan Katz, Blumler, dan Gurevitch pada tahun 1974 dalam bukunya The Uses on Mass Communications lewat teori penggunaan dan kepuasan (Uses and Gratifications Theory).
Lewat Teori Penggunaan dan Kepuasan, Katz, Blumler, dan Gurevitch menjelaskan bagaimana hubungan individu dengan media. Lebih tepatnya, teori tersebut menjelaskan bagaimana seseorang menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam konteks ini, kebutuhan akan terungkapnya tabir kebenaran pada sebuah peristiwa melalui pengaruh media sosial.
Fenomena no viral no justice juga menunjukkan bagaimana peran media massa dan media sosial dalam memberi tekanan yang kuat terhadap sebuah peristiwa. Seperti yang diungkapkan Harold Lasswell sekitar tahun 1920 dan 1930-an yang menyebut media memiliki efek yang kuat, langsung, dan terarah. Lewat Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle) yang diperkenalkannya, Harold Lasswell di eranya menemukan bahwa media memberikan dampak dominan pada pikiran masyarakat. Mirip dengan peluru yang dapat menembus pemikiran individu dan mengubah perilaku mereka.
Fenomena no viral, no justice yang menjadikan media sosial sebagai medium utama ini tak lepas dari statistik pengguna internet dan media sosial yang begitu pesat di Indonesia. Data statistik 2024 menunjukkan pengguna media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta pengguna (73,7% dari populasi). Pengguna aktif sebanyak 167 juta (64,3% dari populasi) dan penetrasi internet mencapai 242 juta pengguna atau 93,4% dari total populasi warga Indonesia.
Angka ini terus menunjukkan kenaikan secara signifikan dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Indonesian Digital Report 2020 menunjukkan pengguna media sosial di Indonesia hanya sebanyak 160 juta atau naik 31 juta hingga 2024. Sementara, pengguna internet pada 2020 hanya 175 juta atau naik secara ekponensial sebanyak 67 juta di tahun 2024.
Angka pengguna media sosial di Indonesia ini ternyata berpengaruh tidak hanya pada pola hidup penggunanya tetapi juga dalam berbagai aspek termasuk hukum. Media sosial telah memunculkan budaya baru komunikasi di berbagai aspek. Ke depan, dengan teknologi yang telah mengarah pada kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) kita rasa-rasanya sulit menerka, budaya baru apa lagi yang akan hadir di tengah masyarakat modern ini. Wallahu A’lam Bishawab…