Literasi Digital, Tumbuhkan Perasaan Multikulturalisme Anak dan Orang Tua
ABATANEWS, PALU – Sebanyak 388 peserta di Palu, Sulawesi Tengah antusias mengikuti Rangkaian Program Literasi Digital “Indonesia Makin Cakap Digital” di Sulawesi, yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dan Siberkreasi bersama Dyandra Promosindo, dilaksanakan secara virtual pada 2 November 2021.
Kolaborasi ketiga lembaga ini dikhususkan pada penyelenggaraan Program Literasi Digital di wilayah Sulawesi. Adapun tema saat ini adalah “Jadi Pembuat Konten yang Hits dan Berfaedah.”
Empat orang narasumber tampil dalam seminar ini, yaitu Steven Sondakh selaku Trainer sekaligus praktisi media, Richard Togaranta Ginting selaku dosen Universitas Udayana, Indry Wijaya selaku Public Speaking Trainer sekaligus Co-Founder Kelas Bebas Bicara, serta Aldy Yusa Ali selaku pemengaruh (influencer) sekaligus aktor. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Humaerah. Rangkaian Program Literasi Digital “Indonesia Makin Cakap Digital” di Sulawesi menargetkan 57.550 orang peserta.
Acara dimulai dengan sambutan berupa video dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang menyalurkan semangat literasi digital untuk kemajuan bangsa. Beralih ke sesi pemaparan, materi pertama dibawakan oleh Steven Sondakh yang membawakan materi berjudul “Menyambut Generasi Alpha, Peluang, dan Tantangan Keterampilan Digital”. Generasi Alpha adalah sebutan yang disematkan kepada mereka yang lahir di tahun 2010 sampai 2025. Generasi Alpha memiliki karakteristik, di antaranya mudah memahami teknologi, pembelajaran bersifat sangat personal, dan berinteraksi sosial lewat media sosial. Meski memiliki banyak peluang, generasi Alpha juga memiliki banyak risiko yang mengintai, salah satunya adalah rentan terpapar konten pornografi.
“Tanpa pengawasan orang tua, mereka mudah mengakses apa saja di dunia digital, salah satunya adalah pornografi. Itu karena generasi Alpha lebih cerdas dibandingkan orang tua mereka dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,” terang Steven.
Sesi pemaparan materi dilanjutkan oleh Aldy Yusa Ali dengan tema “Apa yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Membuat Konten di Media Sosial”. Pada sesinya, Aldy membagikan pedoman dalam membuat konten yang baik di dunia digital, seperti memperhatikan etika dasar dan norma-norma kesusilaan, membuat informasi sekaligus solusi atas permasalahan yang terjadi, bersifat orisinil, serta akurat. Di Indonesia, terdapat rambu-rambu hukum dan etika dalam membuat konten yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pada Pasal 27 – Pasal 37.
“Pelanggaran terhadap larangan-larangan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana penjara 6 sampai 12 tahun penjara dan/atau denda sampai dengan 2 miliar rupiah, sesuai dengan bentuk pelanggarannya,” tutur Aldy.
Pemateri ketiga, Richard Togaranta Ginting, membawakan tema “Memahami Multikulturalisme dalam Ruang Digital”. Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam kebudayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara multikultural. Hal ini membuat Indonesia rentan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan perbedaan kultur seperti konflik SARA, disintegrasi bangsa, serta etnosentrisme.
Hadirnya ruang digital juga dikhawatirkan dapat mendistorsi multikulturalisme dikarenakan budaya baca masyarakat yang rendah sehingga memudahkan penyebaran berita bohong. Maka dari itu, Richard mengimbau,
“Masyarakat perlu banyak membaca buku tentang keberagaman etnis, suku, dan agama serta jangan pernah menghubungkan sebuah kejahatan atas tindakan golongan tertentu”.
Indry Wijaya menutup sesi materi dengan paparan berjudul “Menganalisis Kasus Cyberbullying dan Cara Menghentikannya”. Ia menuturkan, apabila kita berada sebagai korban perundungan digital, maka hal yang dapat dilakukan, di antaranya adalah menceritakan kepada orang terdekat, memblokir akun sosial media pelaku, serta melaporkannya kepada pihak berwajib untuk diproses. Penanganan kasus perundungan digital juga melibatkan anggota kepolisian dan upaya hukumnya ditempuh melalui jalur pengadilan negeri.
Setelah pemaparan seluruh materi, kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh Humaerah. Para peserta tampak antusias dan mengirimkan banyak pertanyaan. Panitia memberikan uang elektronik masing-masing senilai Rp100.000 bagi 10 penanya terpilih.
Salah seorang peserta bertanya tentang bagaimana cara memberikan pengertian kepada orang-orang awam terutama anak dan orang tua agar beretika dengan baik di internet dan menghargai multikulturalisme. Menanggapi pertanyaan tersebut, Richard menjelaskan bahwa permasalahan mengenai etnis di dunia digital umumnya terjadi akibat dari perasaan bangga yang berlebihan pada etnis masing-masing, contohnya seperti penggunaan bahasa daerah di media sosial yang dapat menyinggung orang lain.
Untuk itu, Richard menyarankan agar masyarakat menggunakan Bahasa Indonesia saat berinteraksi dengan orang lain di dunia digital.
Program Literasi Digital “Indonesia Makin Cakap Digital” di Sulawesi akan diselenggarakan secara virtual mulai Mei 2021 hingga Desember 2021 dengan berbagai konten menarik dan informatif yang disampaikan narasumber terpercaya. Bagi masyarakat yang ingin mengikuti sesi webinar selanjutnya, silakan kunjungi https://www.siberkreasi.id/ dan akun sosial media @Kemenkominfo dan @siberkreasi, serta @siberkreasisulawesi khusus untuk wilayah Sulawesi.