Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Soroti Relasi Pansel KPK dengan Elite Politik

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Soroti Relasi Pansel KPK dengan Elite Politik

ABATANEWS, JAKARTA — Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi yang terdiri dari Transparency International Indonesia (TII), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan IM57+ Institute mengungkap adanya hubungan erat antara Panitia Seleksi (Pansel), Calon Pimpinan (Capim), dan calon Dewan Pengawas (Cadewas) KPK dengan sejumlah elite politik. Kondisi ini dinilai memicu kekhawatiran atas potensi intervensi dalam penegakan hukum di KPK.

Aldeta Oktaviyani dari PBHI menyatakan bahwa kewenangan Dewan Pengawas KPK saat ini semakin kuat, termasuk hak untuk menghentikan sebuah kasus, yang berpotensi memicu intervensi dalam proses hukum.

Dalam konferensi pers bertajuk Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK 2024-2029 dalam Jeratan Presiden Joko Widodo di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2024), Aldeta menegaskan bahwa Dewas justru “menyalahi konsep pengawasan” dengan masuknya mereka dalam alur pro justicia.

“Dewan Pengawas KPK kini memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan dalam tahapan-tahapan penyidikan serta tindakan upaya paksa, yang seharusnya menjadi kewenangan penuh penyidik,” ujar Aldeta.

Ia menambahkan, birokrasi yang lebih panjang ini dapat berdampak pada kewenangan penyidik yang seakan “dikebiri” oleh Dewas.

Tidak hanya pada calon pimpinan dan calon dewan pengawas, Koalisi Masyarakat Sipil juga mengkritik adanya potensi afiliasi antara Pansel KPK dengan lingkaran kekuasaan.

Ketua Pansel KPK, Muhammad Yusuf Ateh, misalnya, dinilai memiliki hubungan dekat dengan keluarga Presiden Jokowi, serta dua calon pimpinan KPK, I Nyoman Wara dan Michael Rolandi. Sementara itu, Wakil Ketua Pansel, Arif Satria, juga dianggap memiliki kedekatan dengan Presiden Jokowi selama menjabat sebagai Rektor IPB.

Salah satu nama Capim yang turut menjadi sorotan adalah Johanis Tanak. Kekayaannya yang melonjak signifikan selama menjabat sebagai Wakil Ketua KPK pada periode 2019-2024 memicu kecurigaan publik. Selain itu, Tanak pernah diduga melanggar kode etik setelah bertemu dengan tersangka kasus suap terkait perkara di Mahkamah Agung pada Juli 2023.

Tanak juga disebut terlibat dalam dugaan konflik kepentingan setelah mengirim pesan kepada pejabat Kementerian ESDM, saat KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi di kementerian tersebut.

Nama lain yang turut disorot adalah Ibnu Basuki Widodo, Hakim Mahkamah Agung yang saat ini menjabat sebagai Hakim Pemilah Perkara Pidana Khusus.

Kekayaannya dalam LHKPN mengalami kenaikan dari Rp 2,1 miliar pada 2020 menjadi Rp 4,1 miliar pada 2023. Ibnu sebelumnya juga pernah memvonis bebas terdakwa dalam kasus korupsi pengadaan alat laboratorium di Kementerian Agama dan melarang media meliput persidangan kasus e-KTP yang melibatkan Setya Novanto.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang akuntabilitas dan independensi KPK ke depannya. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menuntut adanya pengawasan ketat terhadap proses seleksi ini agar tidak ada ruang bagi intervensi politik atau konflik kepentingan yang bisa melemahkan KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi.

 

Berita Terkait
Baca Juga