Keluar dari Lubang Pandemi, Masuk ke Mulut Resesi
ABATANEWS, JAKARTA — Pandemi Covid-19 yang mengguncang dunia sejak tahun 2019 mulai terkendali. Namun, belum pulih sepenuhnya imbas dari Covid-19, ancaman resesi kini ada di depan mata.
Hal itu diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam konferensi pers APBN KITA Oktober 2022, Jumat (21/10/2022). Seperti diketahui, para peneliti dan analis ekonomi telah memberi peringatan bahwa ancaman resesi ekonomi akan kemungkinan terjadi di tahun 2023 mendatang.
Sri mengatakan, pandemi Covid-19 saat ini tidak lagi menjadi penghalang. Bahkan, sejumlah negara telah menyatakan pandemi telah berakhir, seperti Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia, Covid-19 disebut sudah bisa dikendalikan dengan baik.
“Seperti yang saya sampaikan pada periode sebelumnya, krisis atau risiko sekarang beralih dari pandemi ke risiko di bidang ekonomi dan keuangan, terutama lingkungan global yang makin bergejolak,” ujarnya.
Hal ini, kata Sri, ditandai dengan harga komoditas yang sangat tidak menentu. Kadang naik signifikan, begitu pun sebaliknya. Seperti harga gas, yang sempat berada di kisaran USD 5,68 per MMBtu, lalu sempat naik USD 9,40 per MMBtu dan turun kembali ke USD 6,44 per MMBtu. Sementara harga batu bara masih bertahan di sekitar USD 400 per metric ton, meskipun sempat turun sedikit di bawah USD 400.
Selanjutnya, harga minyak juga mengalami penurunan dari harga yang pernah mencapai USD 126 per barrel ke USD 90,8 per barrel. Untuk, CPO juga mengalami penurunan yang cukup drastis dalam 1-1,5 bulan terakhir, yaitu pernah dari USD 1.676 per ton ke USD 720,5 per ton dan naik lagi ke USD 817,1 per ton.
Untuk harga gandum juga mengalami penurunan, dari USD 1.224 per bushels menjadi USD 850,1 per bushels. Begitu juga dengan harga soybean mengalami penurunan namun masih bergejolak, dan dari sisi harga jagung yang sempat turun kini sekarang merambat naik kembali, sebelumnya USD 582,5 per bushels menjadi USD 682 per bushels.
“Poinnya adalah bahwa harga komoditas ini masih sangat tidak pasti, cenderung tinggi karena memang faktor yang mempengaruhinya yaitu geopolitik, seperti terjadinya perang yang mengganggu sisi pasokan, mengganggu sisi distribusi, cenderung membuat harga dari komoditas-komoditas ini menjadi tinggi dan mudah sekali bergejolak,” ujar Menkeu.
Dari ketidakpastian harga-harga komoditas tersebut, menyebabkan inflasi karena adanya kenaikan dari harga-harga umum di berbagai negara.
“Ini yang kemudian muncul dalam bentuk inflasi yaitu kenaikan dari harga-harga umum di berbagai negara,” pungkas Sri Mulyani.