Guru Besar Takut Bicara Pemilu 2024, Prof Triyatni: Gantung Togamu di Gerbang Kampus!
ABATANEWS, MAKASSAR — Guru Besar Universitas Hasanuddin, Prof Triyatni Martosenjoyo melayangkan kritik kepada para akademisi yang memilih diam melihat proses demokrasi yang terjadi belakangan ini. Khususnya menjelang masa pencoblosan pada Pemilu 2024.
“Orang sudah ngomel-ngomel soal isu-isu ketidakadilan, terus kita diam-diam,” ucap Prof Triyatni, dalam diskusi Forum Dosen Sulsel bertema ‘Spririt Pemilu 2024: Damai dan Bermartabat’ yang digelar di Cafe Red Corner, Jalan Yusuf Dg Ngawing, kemarin (5/2/2024).
Ia merujuk pada situasi yang berkembang di masyarakat. Tak terkecuali dari informasi yang beredar luas di media sosial.
Makanya, ia pun akhirnya menginisiasi kepada para akademisi Unhas, khususnya yang telah berlabel guru besar, agar ikut bersuara kepada pemerintah.
“Awalnya iseng-iseng saja di grup WhatsApp Dewan Professor (Unhas). Saya katakan, kalau ada yang mau deklarasi, saya yang daftar pertama. Ternyata banyak yang ikut,” kata Prof Triyatni.
Seperti diketahui, pada Jumat (2/2/2024) lalu, sejumlah guru besar dan dosen Unhas melayangkan petisi kepada pemerintah, yang bertajuk “Kawal Demokrasi”. Prof Triyatni yang membacakan 4 tuntutan yang dibuat oleh Forum Guru Besar dan Dosen Unhas tersebut.
“Jadi saya cuma bilang, kalau Anda guru besar dan mengaku sebagai cendekiawan, kemudian di kampusmu pun engkau sudah kehilangan hak bicara, gantung togamu di pintu 1 (gerbang Unhas). Kamu sesungguhnya bukan professor,” tegasnya.
“Kita masih berusaha mengerti ketika mahasiswa kita dibungkam. Karena mereka izin belajar. Walaupun mereka tidak diajar berpikir. Tapi kalau kita yang mengaku cendekiawan, honornya besar, ternyata juga diam, kan kita akhirnya jadi generasi ‘paccappu kopi’,”
Sementara itu, Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof Heri Tahir yang turut serta dalam diskusi Forum Dosen Sulsel juga menyampaikan pandangannya perihal situasi politik yang berkembang.
Dalam pandangannya, Professor berlatar ilmu hukum ini menyebut ungkapan ‘proses tak pernah mengkhianati hasil’.
“Bagaimana kita bisa menerima hasil yang benar, sementara prosesnya dari awal sudah tidak benar? Saya kira itu yang mesti kita pikir bersama,” kata Prof Heri.
Ia pun mengungkit beberapa contoh. Seperti Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari beserta jajarannya yang divonis oleh DKPP telah melakukan pelanggaran etik karena meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
“Masalahnya sekarang persoalan etika itu seolah-olah hanya slogan saja. Padahal ada venue dalam hukum yang menyebut ‘apa artinya hukum tanpa moral dan etik’,” tutur Prof Heri.
Untuk itu, Prof Heri berharap, proses demokrasi yang ada mestinya memperhatikan proses-proses yang benar. “Agar kita benar-benar bisa mendapatkan hasil pemilu yang damai dan bermartabat,” tegas Prof Heri.
Prof Heri juga mengingatkan kepada para akademisi untuk tidak berpangku tangan. Sebab, sebagai cendikiawan, para akademisi mesti ikut memberi pencerahan kepada masyarakat.
“Saya teringat dengan apa yang dikatakan oleh Napoleon Bonaparte: hancurnya suatu negara bukan karena lahirnya orang-orang jahat, tapi diamnya orang-orang baik,” terang Prof Heri.
“Saya tidak mau mengatakan bahwa saya atau kita semua di sini adalah orang baik. Bahwa dosen itu adalah seorang cendekiawan. Dan salah satu fungsi cendekiawan adalah dapat memberikan pencerahan,” imbuhnya.