6 Risiko Kesehatan yang Bisa Terjadi Setelah Aborsi

6 Risiko Kesehatan yang Bisa Terjadi Setelah Aborsi

ABATANEWS – Berdasarkan data studi gabungan milik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Institut Guttmacher, satu dari empat kehamilan di dunia setiap tahunnya berakhir dengan aborsi. Angka aborsi di Tanah Air sendiri pun masih terbilang cukup tinggi. BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) mencatat kasus aborsi di Indonesia bisa mencapai 2,4 juta per tahun.

Tentu saja aborsi bukanlah suatu keputusan yang mudah untuk dibuat. Tapi entah itu menggugurkan kandungan lewat jalur medis resmi ataupun di bawah tangan, selalu ada potensi risiko komplikasi dan efek aborsi yang harus Anda sadari. Beberapa di antaranya bisa berakibat sangat fatal.

Begitu banyak bukti akademis yang melaporkan potensi efek aborsi yang dapat merusak tubuh. Efek samping yang umum dan bisa segera muncul pasca aborsi termasuk sakit perut dan kram, mual, muntah, diare, dan bercak darah. Di luar ini, efek aborsi dapat menyebabkan masalah yang lebih berbahaya. Sekitar 10% pasien aborsi dapat menderita komplikasi segera, dan seperlimanya termasuk kasus yang mengancam nyawa.

Sehingga sangat penting untuk disadari apa saja efek serius dari aborsi yang mungkin akan timbul. Hampir semua efek samping aborsi memakan waktu yang lama, dan tidak terlihat selama berhari-hari, berbulan-bulan hingga bahkan tahunan. Efek samping aborsi yang parah bahkan memerlukan bantuan medis sesegera mungkin. Dilansir pada lama hellosehat, berikut adalah efek yang akan terjadi setelah melakukan aborsi:

1. Perdarahan vagina berat
Perdarahan hebat sebagai efek aborsi serius umumnya disertai dengan demam tinggi dan gumpalan jaringan janin dari rahim. Perdarahan berat selama 12 jam berturut-turut. Baik aborsi spontan, medis, maupun ilegal bisa menyebabkan perdarahan hebat. Perdarahan vagina yang sangat hebat bisa berujung pada kematian, terutama jika dengan metode yang seadanya.

2. Infeksi
Infeksi terjadi karena leher rahim akan melebar selama proses aborsi yang diinduksi obat aborsi. Ini kemudian menyebabkan bakteri dari luar masuk dengan mudah ke dalam tubuh, memicu timbulnya infeksi parah di rahim, saluran tuba, dan panggul. Demam tinggi adalah satu lagi contoh gejala infeksi setelah aborsi. Segera kunjungi dokter jika Anda mengalami demam tinggi (di atas 38ºC) setelah aborsi.

3. Kerusakan rahim
Kerusakan rahim termasuk kerusakan leher rahim, perlubangan (perforasi) rahim, dan luka robek pada rahim (laserasi). Namun sebagian besar kerusakan ini bisa tidak terdiagnosis dan tidak terobati kecuali dokter melakukan visualisasi laparoskopi. Risiko kerusakan serviks akan lebih besar pada remaja yang melakukan aborsi sendiri pada trimester kedua, dan ketika aborsi gagal.

4. Infeksi peradangan panggul
Infeksi peradangan panggul (PID) adalah penyakit yang dapat menyebabkan peningkatan risiko kehamilan ektopik dan mengurangi kesuburan perempuan di masa depan. Kondisi ini berpotensi mengancam nyawa setelah melakukan aborsi.

5. Kanker
Perempuan yang pernah sekali menjalankan aborsi menghadapi risiko 2,3 kali lebih tinggi terkena kanker serviks daripada perempuan yang tidak pernah aborsi. Risiko peningkatan kanker ovarium dan kanker hati juga terkait dengan aborsi tunggal dan ganda. Peningkatan kanker pasca-aborsi mungkin disebabkan oleh gangguan hormonal tidak wajar sel kehamilan selama dan kerusakan leher rahim yang tidak diobati.

6. Kematian
Perdarahan hebat, infeksi parah, emboli paru, anestesi yang gagal, dan kehamilan ektopik yang tidak terdiagnosis merupakan beberapa contoh penyebab utama dari kematian ibu yang terkait aborsi dalam seminggu setelahnya.

Perlu untuk dipahami bahwa sejumlah efek aborsi di atas jarang terjadi, bahkan beberapa risiko juga tampak mirip dengan komplikasi persalinan bayi. Yang penting adalah bahwa Anda menyadari risiko aborsi sementara Anda berusaha membuat keputusan penting tentang kehamilan Anda.

Berita Terkait
Baca Juga